“IKUTlLAH
BERJUANG MEMPERBAIKI MENTAL MASYARAKAT LEWAT JALAN BATHINIYAH”.
KH. Abdul Madjid
Ma’roef QS wa RA lahir dari pernikahan Syaikh Mohammad Ma’roef, pendiri Pondok
Pesantren Kedunglo Al Munadharah dengan Nyahi Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar,
Melati Kediri. KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir pada hari Jum’at Wage
malam 29 Ramadhan 1337 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra ke tujuh dari sembilan
bersaudara.
Beliau lahir di tengah pesantren yang luas nan
sepi. Dikelilingi rawa-rawa dengan jumlah santri yang tak pernah lebih dari
empat puluh orang, Kedunglo.
Ketika masih baru berumur dua tahun oleh
bapak-ibunya, gus Madjid dibawa pergi haji ke Makkah Al Mukarramah. Di Makkah,
setiap memasuki jam dua belas malam, Kyai Ma’roef selalu menggendong Gus Madjid
ke Baitullah di bawah Talang Mas. Di sana Kyai Ma’roef berdoa, agar bayi yang
berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang sholeh hatinya, Kyai
Ma’roef selalu mendoakan Gus Madjid agar menjadi orang shaleh. Konon selama
berada di Mekah, si kecil Agus Madjid yang juga dikhitankan di sana akan
diambil anak oleh salah seorang ulama Arab dan disetujui oleh Mbah Yahi
Ma’roef. Beruntung Mbah Nyahi Hasanah keberatan, sehingga Agus Madjid tetap
berada dalam asuhan kedua orang tuanya.
Cerita Gus Madjid akan diangkat anak oleh ulama
Mekah memunculkan sebuah ungkapan, “Kalau bukan karena Kyai Madjid maka
Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir. Dan kalau bukan karena Nyahi Hasanah,
Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir di bumi Kedunglo”.
Sepulang dari Mekah, muncul kebiasaan unik pada
diri Agus Madjid. Beliau yang masih dalam usia tiga tahun (balita), hampir di
setiap kesempatan berkata, “Qul, dawuha sira Muhammad” (Qul,
katakanlah, wahai Muhammad) sambil meletakkan tangannya di atas kepala.
Kebiasaan semacam ini terus berlangsung hingga Beliau memasuki usia tujuh
tahun. Kebiasaan lain Beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang
suka bergaul dan sangat pendiam. Romlah dan Mbakyunya ini pula yang mula
pertama mengajari Beliau baca tulis Al-Qur’an.
Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan
keistimewaan yang dimiliki terus dibawanya hingga Beliau memasuki usia remaja.
Karena sifat pendiam Agus Madjid inilah hingga tidak ada yang tahu
keistimewaan-keistimewaan Beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun Gus Madjid secara lahiriyah nampat tidak
istimewa dibandingkan dengan Gus Malik adiknya yang pandai dan sering
menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak sebagai wakil
ayahnya apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan, hingga tidak sedikit
yang menyangka bahwa Gus Maliklah calon penerus ayahnya. Akan tetapi pada
hakikatnya, Kyai Ma’roef telah mempersiapkan Agus Madjid sebagai penggantinya
sejak Beliau baru dilahirkan. Terbukti, meski Gus Madjid masih baru berusia dua
tahun ada yang mengatakan baru berumur 1,5 tahun, ayahnya telah membawanya
serta pergi haji. Padahal kita semua tahu bagaimana kondisi transportasi dan
akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan dan
sangat melelahkan. Belum lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang berbeda jauh
dengan kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain bahwa Gus Madjid dipersiapkan sebagai
calon penerus ayahnya, adalah setiap mendekati bulan haji, Kyai Ma’roef selalu
kedatangan tamu dari kalangan sayyid dan sayyidah dari jazirah
Arab. Saat itulah, sambil menggendong Gus Madjid, Nyahi Hasanah berkata kepada
tamunyam, “Niki, Ndoro Sayyid yugo kulo, njenengan suwuk, dados tiyang
ingkang sahaleh atine.” (Ini Tuan Sayyid, do’akan anak saya agar menjadi
orang yang shaleh hatinya).
Pernah, suatu hari saat Kyai Ma’roef sedang
bepergian, datang seorang habib hendak bersilaturrahim. Karena Kyai Ma’roef
tidak ada, si tamu minta dipanggilkan Gus Madjid, katanya akan dido’akan.
Karena Gus Madjid sedang bermain dan belum mandi, maka abdi dalem
(pembantu) membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui si tamu. “Wah, ini
bukan Gus Madjid, tolong bawa Gus Madjid kemari!” kata habib kepda abdi
dalem.
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di
Madrasah Ibtidaiyyah, namun hanya sampai kelas dua. Selanjutnya, Kyai Ma’roef
mengantar Agus Madjid mondok di Jamsaren Solo pada Kyai Abu Amar. Genap tujuh
hari di Jamsaren, Agus Madjid dipanggil gurunya, disuruh kembali ke Kedunglo. “Sampun
Gus, panjenengan kundur mawon!”, sambil dititipi surat agar disampaikan
kepda ayahnya. Gus Madjid menuruti perintah Kyai Abu Amar, meski dengan pikiran
penuh tanda tanya kembali ke Kediri. Terdorong oleh jiwa muda ayng haus akan
ilmu pengetahuan, Agus Madjid kemudian mondok di Mojosari, Loceret, Nganjuk.
Namun setelah hari ketujuh, Beliau dipanggil Kyai Zainuddin, gurunya.
“Gus, njenengan sampun cukup, mboten usah
mondok, kundur kemawon, wonten ndalem kemawon”. (Gus, Anda sudah cukup,
tidak mondok, pulang saja, di rumah saja). Agus Madjid pun kembali ke Kedunglo
dan matur kepada ayahnya, kalau gurunya tidak bersedia memberinya pelajaran. “Wis
kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu, kamu
aku didik sendiri saja, satu bulan nilainya sama dengan seribu bulan), ujar
Kyai Ma’roef.
Maka setelah empat
belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya adalah ayahnya sendiri,
Kyai Haji Mohammad Ma’roef RA yang telah mewarisi ilmu dari Kyai Kholil,
Bangkalan. Oleh ayahnya, setiap selesai sholat maghrib, Gus Madjid diajari
aneka macam ilmu yang diajarkan di pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang
tidak diajarkan di pondok pesantren. Sehingga ayahnya pernah berkata kepada
adik Gus Madjid, “Madjid iku nggak kalah karo anak pondokan” (Madjid itu
tidak kalah dengan anak pesantren).
Tak heran kalau
pada akhirnya Beliau tumbuh sebagai pemuda ayng sangat ‘alim dan wara’.
Ibarat padi semakin tinggi ilmunya Beliau semakin tawadhu’ dan pendiam,
sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik kediamannya tersimpan
segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan. Tapi itulah keistimewaan
Beliau yang tidak pernah menammpakan keistimewaannya, karamahnya kepada
sesamanya.
Menikah
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang. Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya. Karena disamping Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya, Agus Madjid adalah sosok pemuda ‘alim berwajah tampan nan rupawan bagai rembulan.
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang. Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya. Karena disamping Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya, Agus Madjid adalah sosok pemuda ‘alim berwajah tampan nan rupawan bagai rembulan.
Namun dari sekian
gadis, putri-putri kyai yang mendambakan dipersunting oleh Agus Madjid,
akhirnya yang menang adalah dara manis yang sedang beranjak remaja, bernama Shofiyah
yang kala itu berusia 16 tahun putri K. Moh. Hamzah dengan Ibu Ummi Kulsum,
buyut KH. Mansyur pendiri Kota Tulung Agung yang mendapat tanah perdikan dari
Sultan Hamengkubuwono II karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung
Agung, dan kini menjadi alun-alun kota Tulung Agung.
Semula, oleh
ibunya Agus Madjid dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu “Nyahi Zainab”
putri KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo (akhirnya dinikahi oleh KH. Mahrus Lirboyo.
Red). Apalagi Agus Madjid saat ditawari akan dinikahkan dengan saudara
sepupunya yang cantik dan pinter itu hanya diam saja. Meski tidak mendapat
jawaban yang pasti dari Agus Madjid, antara pihak Kedunglo dan pihak Lirboyo
sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang masih kerabat dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil Bangkalan ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang masih kerabat dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil Bangkalan ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Tetapi entah
mengapa, ketika Pak Naib meng-akid, calon pengantin putra hanya diam saja tidak
menjawab. Berkali-kali Pak Naib mengucapkan ijab tetapi tidak mendapat
jawabab qobul dari Agus Madjid. Maka menghertilah kedua orang tuanya
termasuk calon mertuanya, kalau Gus Madjid tidak mau menikah dengan “Nyahi
Zainab”, saudara sepupunya tersebut. Lepas dari perkawinan antara kerabat, Agus
Madjid ditawari kembang dari Tawangsari, Tulung Agung yang sedang mekar-mekarnya
oleh Yusuf santri ayahnya yang tak lain adlah paman si gadis. Agus Madjid
setuju dan nontoni (melihat) si gadis yang sedang memetik beberapa kuntum
Melati dari balik jendela di bawah menara masjid. Si gadis itu tak lain adalah
Shofiyah putri ke-7 dari 12 bersaudara.
Perkawinan antara
Kyai Abdul Madjid dengan Nyahi Shofiyah dikaruniai 14 orang anak. Keempatbelas
putra-putri itu adalah Ning Unsiyati (Almh), Ning Nurul Isma, Ning Khuriyah
(Almh), Ning Tatik Farikhah, Agus Abdul Latief, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah
(Almh), Ning Djauharatul Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh. Hasyim Asy’ari
(Alm), Ning Tutik Indyah, Agus Syafi’ Wahidi Sunaryo, Ning Khusnatun Nihayah
dan Ning Zaidatun Inayah.
Mbah KH. Abdul Madjid QS wa RA mempunyai
kepribadian yang sangat mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang hidup
sejaman dengan Beliau, akhlak Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA adalah bi
akhlaqi Rasulillah SAW. Berbadan sedang, dengan warna kulit putih
bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus, agak lebar dengan
garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa Beliau mempunyai tingkat
kesabaran yang luar biasa. Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke
dalam bak gua, menunjukkan bahwa Beliau seorang yang mempunyai pemikiran yang
tajam dan dalam. Di antara kedua matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai
pertanda Beliau Mbah Yahi Madjid memiliki otak yang brilian. Tangannya halus
dan lembut, selembut hatinya yang pemaaf. Kalau berjalan, Beliau melangkah
dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah. Terkadang Beliau
juga menoleh ke kiri/kekanan untuk melihat situasi dan keadaan jamaah. Mengenai
jalannya Mbah Yahi ini, Kyai Zainudin menuturkan bahwa yang paling mendekati
jalannya Mbah Yahi adalah Beliau Romo Yahi Abdul Latief Madjid RA, ketika
Beliau mios (berangkat) ke masjid untuk pengajian Minggu pagi.
Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum,
Beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat Beliau dan
tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan jawami’ kalam. Artinya,
kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena Beliau
mempuNyahi kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat.
Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan yang
dituturkannya. Beliau mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak
kurang dari yang dikehendaki. Beliau memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang
yang berbicara dengannya.
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampat tidak punya ongkos buat pulang, disangoni (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi. Pernah Mbah Yahi memberi uang belanja kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah) yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi memberikan jubahnya kepada si tamu.
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampat tidak punya ongkos buat pulang, disangoni (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi. Pernah Mbah Yahi memberi uang belanja kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah) yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi memberikan jubahnya kepada si tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan
kesucian badannya. Baju yang telah dipakainya sekali tidak dipakainya lagi.
Karena tak heran kalau Beliau sering mencuci pakainnya sendiri bahkan juga
menguras jeding-nya (bak mandi) sendiri. Dalam masalah ini Beliau pernah
mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah
sakit. Bila marah, Beliau cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau
Beliau mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan sperti tidak
pernah terjadi apa-apa.
Perihal marahnya Mbah Yahi QS wa RA ini, Mbah Nyahi sebagai orang terdekat
yang telah menemani Beliau lebih dari 40 tahun menuturkan, “Kalau Beliau kurang
berkenan kepada saya, atau ada kesalahan ayng telah saya lakukan, tetapi saya
kurang menyadarinya, Beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah
tidak seperti biasanya. Kalau Mbah Yahi sudah demikian, saya bingung dan sedih
sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di amta Beliau? Kemudian satu persatu
saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga Beliau tidak
menegur saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan
yang telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya
sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian Beliau menegur
saya dan selanjutnya seperti tak pernah terjadi apa-apa.”Dari sini kita tahu kalau kehidupan rumah tangga Beliau jauh dari perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi, yang sering berfatwa agar para pengamal lebih sering nggrayahi githoke dewe (mengoreksi kesalahan sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain, ternyata terlebih dahulu diterapkan pada keluarga Beliau. Kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dan Mbah Nyahi adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis dan sangat bahagia. Sebagai suami, Mbah Yahi adalah sosok suami yang romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Meski sebagai putra kyai, Mbah Yahi tidak segan-segan menghibur istrinya dengan mengajaknya menonton pasar malam, seraya menggandeng tangan Mbah Nyahi. Bahkan Beliau juga menggendong Mbah Nyahi apabila menjumpai jalan licin atau ada kubangan-kubangan di tengah jalan. “Kalau kami jalan berdua, Mbah Yahi itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari bersama-sama”, tutur Mbah Nyahi saat menceritakan kemesraan Mbah Yahi.
Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yahi Madjid QS
wa RA, sebagaimana yang dikatakan Mbah Nyahi RAH, Beliau adalah manusia biasa
seperti manusia lainnya. Beliau mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan
baju Mbah Nyahi atau baju putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi. Beliau
selalu membantu Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah
Nyahi akan memasak sayur santan, Mbah Yahi yang memarut kelapanya dan Mbah
Nyahi ayng membuat bumbunya. Mbah Yahi juga membantu mengasuh putra-putrinya
yang masih kecil-kecil. Memandikan, ndandani (berhias) bahkan menyuapi.
Kalau persediaan padi hasil panen habis, Mbah Yahi memanen sayuran kangkung yang
Beliau tanam sendiri, lalu dijual ke pasar oleh Mbah Nyahi untuk dibelikan
beras. Tak jarang Beliau sekeluarga hanya makan sayur kangkung saja. Dalam
kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dulu, tidak mempunyai apa-apa sama sekali
sudah biasa. Dan kondisi semacam itu diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas
oleh Mbah Nyahi. Melihat kondisi Mbah Yahi sekelurga yang sangat sederhana dan
apa adanya tersebut, Pak Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah
Yahi, “Romo Kyai Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang Beliau inginkan,
Kyai Ma’roef tinggal berdo’a memohon kepda Allah langsung diijabahi”.
Tapi apa tanggapan Mbah Yahi? “Pak Haji Alwan,
kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan saya
ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam hati saja langsung
diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”. Pernyataan Mbah Yahi QS wa RA di
atas mengingatkan kita kepada Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa
sangat prihatin menyaksikan kehidupan keseharian Rasulullah SAW sebagai makhluk
terkasih di sisi Allah SWT yang hidupnya sangat sederhana, sehignga Malaikat
Jibril menawarkan Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas.
“Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar, aku
bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku kenyang,
aku bisa memuji Tuhanku menjdi hamba Allah yang bersyukur”, itulah jawaban
seorang manusia termulia di muka bumi ini. Mbah Yahi QS wa RA saat awal
menyusun Shalawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau prihatin karena
urusan-urusan penting yang sedang di hadapinya. Keprihatinan Beliau bukanlah
berkaitan dengan masalah khusus mengenai dirinya, melainkan yang berhubungan
dengan orang lain, berhubungan dengan masyarakat jami’al ‘alamin. Hal
lain mengenai Beliau adalah setiap orang yang memandangnya akan merasakan
kesejukan yang merasuk ke dalam hati. Dan siapa pun yang Beliau pandang hatinya
pasti bergetar.
Wahidiyah
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU. Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah Rasulullah SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU. Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah Rasulullah SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi menyelenggarakan
resepsi ulang tahun Shalawat Wahidiyah pertama sekaligus khitanan Agus Abdul
Hamid dan selapan harinya Ning Tutik Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama
dari berbagai daerah Jawa Timur, di samping keluarga dan kaum muslimin lainnya.
Hadir sebagai tamu kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rois ‘Am
NU dan Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah Beras, Jombang; KH. Machrus Ali,
Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri; KH. Abdul Karim
Hasyim (Putra Pendiri NU) Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang; dan KH. Hmim
Djazuli (Gus Mik) Putra pendiri Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk menyiarkan Shalawat
Wahidiyah kepda segenap hadirin.
“Nuwun sewu, kula gadah amalan Shalawat
Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi?” (Mohon maaf, saya
mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin bersedia saya beri
ijazah?), tutur Mbah Yahi dalam sambutannya. Spontan yang hadir menjawab “kerso”
(bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah
berdiri, seakan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah
spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu
awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam
sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin.. ilmunya Gus Madjid dalam
sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang saya hanya
memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan saya
amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah. Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah. Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat
Wahidiyah itu susunan saya sendiri”. Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar,
Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah
satu tahun?”
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau membaca sholawat Allahumma kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalil sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA. Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh?” “Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi. Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau membaca sholawat Allahumma kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalil sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA. Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh?” “Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi. Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.
Suatu ketika Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan
penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo,
Kab. Kediri, di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang
hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam
khutbah iftitah-nya Beliau Mualif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: “Alhamdulillaahi
aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”
Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum, Mbah
Yahi mengirimkan Shalawat Wahidiyah yang ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm)
santri Kedunglo kepada para ulma Kediri dan sekitarnya disertai surat pengantar
yang Beliau tandatangani sendiri. Sejauh itu tak satupun di antara kyai yang
dikirimi shalawat, mempermasalahkan Shalawat Wahidiyah.
“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu
komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh Mbah Yahi justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan adanya Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah dan sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Mereka ikut andil dalam Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW. (Begitu mulia akhlaq Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al Faathihah….)
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh Mbah Yahi justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan adanya Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah dan sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Mereka ikut andil dalam Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW. (Begitu mulia akhlaq Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al Faathihah….)
Ghoutsu Zamanihi
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi QS wa RA diangkat menjadi “Ghouts” oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1992. Mbah Yahi QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman.
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm) salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ary RA) bermaksud riyadhah mencari “Ghoutsu Zaman”. Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah “Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman”. Akhirnya rencana riyadhoh selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir kembali ke Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di hadapan Mbah Yahi.
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan masuk”.
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi QS wa RA diangkat menjadi “Ghouts” oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1992. Mbah Yahi QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman.
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm) salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ary RA) bermaksud riyadhah mencari “Ghoutsu Zaman”. Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah “Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman”. Akhirnya rencana riyadhoh selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir kembali ke Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di hadapan Mbah Yahi.
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan masuk”.
Bersamaan itu, masih menurut Kyai Baidlowi,
keponakan Mbah mundir, Agus Muhaimin Abdul Qodir dalam kondisi terjaga dihadiri
Nabiyullah Khidir AS, yang intinya menyampaikan bahwa Beliau Mualif Shalawat
Wahidiyah adalah Qathbul Aqthob. Kyai Agus Muhaimin kurang percaya, seraya
bertanya: “Masih banyak ulama yang ‘allamah, kenapa kok Pak Kyai Abdul Madjid
yang menduduki jabatan Shulthonul Auliyaa?” Nabi Khidzir menjawab, “Tidak ada
pilihan lain ‘indallah selain dia”. Setelah jawaban itu, nabi Khidzir
pun menghilang.
KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) yang kondang kewaliannya, mengakui kalau Muallif
Shalawat Wahidiyah adalah “Shulthonul Auliyaa” seperti yang disampaikannya saat
beliau memberi kata sambutan dalam acara khitanan dan ulang tahun pertama
Shalawat Wahidiyah. Di antara sambutannya, “Para hadirin, siapakah sebenarnya
Agus Abdul Madjid itu?” Karena tak satu pun dari yang hadir menjawab, maka
beliau meneruskan sambutannya, “Beliau adalah Roisul ‘Arifin. Hadirin, seumpama
Panjenenganipun Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani masih hidup, saya yakin akan juga
ikut mengamalkan shalawat Agus Abdul Madjid ini”.
Di sisi lain, setelah KH. Djazuli Utsman,
ayahanda Gus Mik juga dengan sungguh-sungguh mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Konon
katanya, setiap melaksanakan shalat fardhu dan mengamalkan Shalawat Wahidiyah,
Mbah Yahi Madjid QS wa RA nampak di hadapannya. Kejadian tersebut terus
berlangsung hingga tujuh hari. Sementara itu Ibu Nyai Djazuli mengungkapkan,
ketika membaca Shalawat Wahidiyah mendengar suara ghaib yang menyatakan dengan
jelas bahwa Kyai Abdul Madjid adalah Ghautsu Hadzaz Zaman, berulang-ulang
sampai tiga kali. Kemudian pengalaman bathin tersebut disampaikan kepada Kyai
Djazuli Ustman, beliau juga menceritakan pengalaman yang sama. Akhirnya beliau
berdua memutuskan sowan ke Kedunglo.
Keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi Kyai
Djazuli Ustman beserta Ibu Nyai bersiap hendak pergi ke Kedunglo dengan membawa
sekarung beras dan rencananya akan mengendarai dokar. Tetapi belum sampai
berangkat, Mbah Yahi beserta Mbah Mundir dan Bapak Abdul Jalil Jaserman telah
tiba lebih dulu di Ponpes Ploso (tempat tinggal Kyai Djazuli Ustman).
Selasa Kelabu di Bulan Rajab
“Romo Yahi kurang sehat….” “Romo Yahi lagi gerah…” Kabar itu segera menyebar ke seluruh perserta Mujahadah Kubro di bulan Rajab tahun 1989. Kontan saja resepsi Mujahadah Kubro memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW serasa lain dari biasanya. Suasana syahdu tersa sangat melingkupi hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam pertama, kedua dan ketiga Mbah Yahi tidak mios (tidak hadir secara langsung ke arena mujahadah) untuk menyampaikan fatwa dan amanat.
“Romo Yahi kurang sehat….” “Romo Yahi lagi gerah…” Kabar itu segera menyebar ke seluruh perserta Mujahadah Kubro di bulan Rajab tahun 1989. Kontan saja resepsi Mujahadah Kubro memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW serasa lain dari biasanya. Suasana syahdu tersa sangat melingkupi hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam pertama, kedua dan ketiga Mbah Yahi tidak mios (tidak hadir secara langsung ke arena mujahadah) untuk menyampaikan fatwa dan amanat.
Pada malam terakhir, sebenarnya Mbah Yahi QS wa
RA sudah melimpahkan pengisian fatwa dan amanah kepda putra lekaki pertamnya
(Romo KH. Abdul Latief Madjid RA). Tetapi para pecintanya sangat merindukan
Mbah Yahi hadir di tengah-tengah peserta untuk mendengarkan fatwa terakhir
Beliau. Kemudian wakil dari peserta menyampaikan kepada Mbah Nyahi akan
kerinduan dan kecintaan para pengamal kepada Mbah Yahi. Akhirnya Mbah Nyahi
sowan kepada Mbah Yahi agar Mbah Yahi berkenan menyampaikan fatwa dan amanat
terakhirnya.
Puji syukur Al-Hamdulillah, karena kasih dan
sayang Mbah Yahi kepada pengamal, Beliau berkenan menyampaikan fatwa dan amanat
terakhir di malam terakhir pelaksanaan mujahadah kubro, meski dari dalam kamar
di ndalem (rumah Beliau) tengah. Pada kesempatan tersebut Beliau
memberikan “ijazah” Shalawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk
diamalkan dan disiarkan dengan kalimat, “Ajaztukum bihadzihish shalawatil
wahidiyah fil amali wan nasyri”. Setelah itu, kondisi kesehatan Beliau
semakin berkurang, walau demikian Beliau masih juga berkenan mengisi pengajian
Ahad pagi dari ndalem.
Begitulah Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat terakhir hayatnya, Beliau masih membimbing dan men-tarbiyah pe-nderek-nya. Mengenai siapa di antara putra-putra Beliau yang kerap disebut, sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Rahmat Sukir dari penuturan Mbah Nyahi. Pada detik terakhir menjelang wafatnya, yang dipanggil-panggil Mbah Yahi adalah Agus Latief (Romo Yahi Abdul Latief RA). Saat itulah, Romo Yahi Abdul Latief RA memohonkan maaf segenap keluarga dan seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah kepada Mbah Yahi QS wa RA. “Ya..” jawab Mbah Yahi QS wa RA. Tak lama berselang, saat itu Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1409 H, jam 10.30 WIB, Sang Warasatul Anbiyaa, Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid RA telah ridla dan diridlai menghadap Allah SWT.
Begitulah Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat terakhir hayatnya, Beliau masih membimbing dan men-tarbiyah pe-nderek-nya. Mengenai siapa di antara putra-putra Beliau yang kerap disebut, sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Rahmat Sukir dari penuturan Mbah Nyahi. Pada detik terakhir menjelang wafatnya, yang dipanggil-panggil Mbah Yahi adalah Agus Latief (Romo Yahi Abdul Latief RA). Saat itulah, Romo Yahi Abdul Latief RA memohonkan maaf segenap keluarga dan seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah kepada Mbah Yahi QS wa RA. “Ya..” jawab Mbah Yahi QS wa RA. Tak lama berselang, saat itu Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1409 H, jam 10.30 WIB, Sang Warasatul Anbiyaa, Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid RA telah ridla dan diridlai menghadap Allah SWT.
Tak ada tangis yang meledak, hanya awan kedukaan
begitu kelabu menyelimuti Selasa itu, dan perlahan-lahan air mata pun menetes
di bumi Kedunglo Al-Munadharah seiring datangnya para tamu dari berbagai
penjuru, yang ingin bertakziyah dan memyampaikan penghormatan terakhir kepada
sesorang yang ‘Alim, namun tidak pernah menampakkan ke-‘aliman-nya.
Semakin senja para peziarah semakin membanjir. Shalat janazah pun dilaksankan
secara bergilir, karena masjid sudah tidak menampung jumlah jamaah. Begitu juga
pemakaman terpaksa ditunda, mengingat jumlah peziarah yang terus mengalir dan
menunggu keputusan musyawarah keluarga ndalem Mbah Yahi.
Begitulah sekilas “manaqib” Hadratul Mukarram Al
Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA Muallif
Shalawat Wahidiyah, Mujaddid, Reformis Akhlak, Pahlawan Pembebas Nafsu yang
gelar kepahlawanannya bukan direkomendasi oleh pejabat pemerintah melainkan
direkomendasi langsung oleh Allah SWT. Semoga kita semua bisa meneladaninya.
Amiin.
ILMU-ILMU LADUNI
Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA kebanyakan menerima amalan doa doa secara laduni artinya menerima “alamat ghoib”- istilah Beliau – dalam keadaan terjaga dan sadar, bukan dalam mimpi. Maksud dan isi alamat ghoib tersebut kurang lebih: “ikutlah berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalan bathiniyah”.
Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA kebanyakan menerima amalan doa doa secara laduni artinya menerima “alamat ghoib”- istilah Beliau – dalam keadaan terjaga dan sadar, bukan dalam mimpi. Maksud dan isi alamat ghoib tersebut kurang lebih: “ikutlah berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalan bathiniyah”.
Sesudah menerima alamat ghoib tersebut Beliau
sangat prihatin. Kemudian mencurahkan / memusatkan kekuatan bathiniyah,
bermujahadah (istilah Wahidiyah), bermunajat / mendekatkan diri kepada Alloh
memohon bagi kesejahteraan ummat masyarakat, terutama perbaikan mental / akhlaq
dan kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi.
Do’a-do’a / amalan yang Beliau perbanyak adalah
do’a sholawat, seperti Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat,
Sholawat Masisiyah dan masih banyak lagi.
Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh doa yang
beliau amalkan untuk memenuhi maksud alamat ghoib tersebut adalah do’a
Sholawat. Seakanakan boleh dikatakan bahwa seluruh waktu beliau tidak ada yang
tidak dipergunakan untuk membaca sholawat. Suatu contoh ketika bepergian dengan
naik sepeda, beliau memegang stir sepeda dengan tangan kiri, sedang tangan
kanan Beliau dimasukkan ke dalam saku baju untuk memutar tasbih. Untuk amalan
Sholawat Nariyah misalnya Beliau sudah terbiasa mengkhatamkannya dengan
bilangan 4444 kali dalam tempo kurang lebih 1 (satu) jam.
Allohumma
sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina
Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa tuqdho
bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol
ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa
nafasim bi’adadi kulli ma’lummin lak”
Artinya :Ya Allah, limpahkanlah
shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada
junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat
terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat
terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan
berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada
keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak
bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.
Banyaknya bilangan bacaan yang ditempuh dalam
waktu sesingkat itu bagi Beliau tidaklah mustahil. Itulah kelebihan yang
diberikan oleh Alloh kepada sebagian Waliyulloh. Karomah tersebut lazimnya
disebut “thoyyul-waqti” (melipat/menyingkat waktu) sebagaimana karomah yang
serupa yang disebut “thoyyul-ardli” (melipat/ memperpendek jarak bumi). Yakni
suatu jarak / jangka waktu yang umumnya harus ditempuh dalam waktu yang lama
(beberapa jam/hari/ minggu), bagi sebagian waliyulloh yang diberi karomah di
bidang itu bisa ditempuh hanya beberapa saat saja.
Beliau menerima alamat ghoib lagi, alamat yang ke
dua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghoib yang pertama. Maka Beliaupun
mening-katkan mujahadah kepada Alloh, sehingga kondisi fisik / jasmani Beliau
sering terganggu, namun tidak mempenga-ruhi kondisi bathiniyah Beliau.
Tidak lama dari alamat ghoib yang ke dua itu,
beliau menerima lagi alamat ghoib dari Alloh, untuk yang ke tiga kalinya.
Alamat yang ke tiga ini lebih keras lagi dari pada yang kedua “Malah kulo dipun
ancam menawi mboten enggal-enggal ngelaksanaaken” (malah saya diancam kalau
tidak cepat-cepat melaksanakan). Demikian kurang lebih penjelasan beliau
“Saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdanipun
meniko” (karena kerasnya peri-ngatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah
itu), tambah Beliau. Sesudah itu semakin bertambahlah prihatin, mujahadah,
taqorrub dan permohonan Beliau ke Hadlirot Alloh.
Dalam situasi bathiniyah yang senantiasa
ber-tawajjuh ke Hadlirat Alloh wa Rosulihi itu, beliau menyusun suatu do’a
sholawat. ”Kulo lajeng ndamel oret-oretan” (saya lalu membuat coretan), istilah
Beliau. “Sak derenge kulo inggih mboten angen-angen badhe nyusun sholawat”
(sebelumnya saya tidak berangan-angan menyusun Sholawat). Beliau menjelaskan :
“Malah anggen kulo ndamel namung kalian nggloso” (bahkan dalam menyusun saya
hanya dengan tiduran).
Yang dimaksud do’a sholawat yang baru lahir dari
kandungan bathiniyah yang bergetar dalam frekuensi tinggi kepada Alloh wa
Rosuulihi, bathiniyah yang diliputi rasa tanggung jawab dan prihatin terhadap
ummat masyarakat, adalah Sholawat sebagai berikut :
اَللّهُمَّ كَمَآ أَنـْتَ أَهْـلُهْ , صَـلّ وَسَـلّمْ وَبـَارِك ْعَـلَىسَـيّــدِنـَا
وَمَــوْلانَـا وَشَفِـيْعِنَا وَحَبِـيْبـِنَا وَقُـرَّة ِأَعْـيُـنِـنَا
مُحَـمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كمَا هُوَ أَهْـلُهْ , نَسْـأَلُكَ
اللّـهُمَّ بـِحَقِّهِ أَنْ تُغْرِقَـنَا فِى لُجَّةِ بَحْر الْوَحْدَةْ , حَتَّى
لا نَرَى وَلانَسْمَعَ ولا نَجِدَ وَلاَ نُحِسَّ وَلا نَـتَحَرَّك وَلا نَسْكُنَ إِلاّ
َّبِهَا , وَتَرْزُقَــنَا تَمَـامَ مَغْـرف تِكْ , وَتَمَامَ نِعْمَتـِك ْ, وَتَمَامَ
مَعْرِِفَـتِكْ , وَتَمَامَ مَحَبَّـتِـكْ , وَتَـمَامَ رضْـوَانِكْ ,
وَصَـلّ وَسَلِّمْ وَبَاركْ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَصَحْبِهْ , عَدَدَ مَآ أَحَاط
بهِ عِلْمُك وَأَحْصَـاهُ كِتَابُكْ , بِرَحْمَـتِكَ يـَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن
, وَالْحَـمْـدُ ِللهِ رَبّ ِالْـعَالَمِــْين
ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK
‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA, WASYAFII’INAA, WAHABIIBINAA, WAQURROTI A’YUNINAA
MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA
BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO WALAA
NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA NASKUNA ILLAA
BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI’MATIKA YAA
ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH,
WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH; WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA
AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA
YAA ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN.
“Niki kulo namekaken
Sholawat Ma’rifat” (Ini saya namakan Sholawat Ma’rifat), penjelasan Beliau.
Dalam sholawat tersebut belum ada
kalimat يَآ أَلله setelah
kalimat تــَمَامَ مَـغْـــرف تـِك dan seterusnya
seperti yang ada sekarang ini .
Kemudian Beliau menyuruh tiga orang supaya mengamalkan sholawat yang
baru lahir tersebut. Tiga orang yang Beliau sebut sebagai pengamal percobaan
itu ialah Bapak Abdul Jalil (almarhum) seorang tokoh tua (sesepuh) dari desa
Jamsaren, Kota Kediri, Bapak Mukhtar (seorang pedagang dari desa Bandar Kidul,
Kota Kediri), dan seorang santri pondok Kedunglo yang bernama Dakhlan, dari
Demak, Jawa Tengah. Alhamdu lillah, setelah mengamalkan sholawat
tersebut mereka menyampaikan kepada Beliau bahwa mereka dikaruniai rasa
tenteram dalam hati, tidak ngongso-ngongso dan lebih banyak ingat kepada Alloh.
Setelah itu Beliau menyu-ruh lagi beberapa santri pondok supaya mengamalkannya.
Alhamdulillah, hasilnya juga sama seperti yang diperoleh oleh tiga orang
tersebut di atas.
Beberapa waktu kemudian bertepatan dengan bulan Muharram Beliau menyusun
Sholawat lagi yaitu :
للَّهُمَّ يَاوَاحِـدُ يَآ أَحَدْ , يَـاوَاجِـدُ يَاجَوَادْ , صَلّ
وَسَلِّـمْ وَبَاركْ عَلَى سَـيّـِِدِنـَا مُحَـمَّدٍ وَّعَـلَى آلِِ سَيـِّدِنـَا
مُحَمَّدْ , فِىكُلِّ لـَمْحَة ٍ وَّنَـفَسٍٍ بِعَـدَدِ مَـعْلُوْمَاتِ اللهِ
وَفُـيُـوْضَاتِهِ وَأَمْدَادِهْ
Sholawat tersebut
kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam susunan Sholawat Wahidiyah.
Karena lahirnya Sholawat ini pada bulan Muharram, maka Beliau menetapkan bulan
Muharram sebagai bulan kelahiran Sholawat Wahidiyah yang diperingati ulang
tahunnya dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro Wahidiyah pada setiap bulan
tersebut.
Untuk mencoba khasiat
sholawat yang kedua ini, Beliau menyuruh beberapa orang supaya
mengamalkannya, Alhamdulillah, hasilnya lebih positif lagi. Yaitu
mereka dikarunia oleh Alloh, ketenangan bathin dan kesadaran hati kepada Alloh
yang lebih mantap.
Semenjak itu Beliau memberi ijazah Sholawat اَللـــَّــهُمَّ
يَاوَاحـــِــدُ dan للّـهُــمَّ كــَمَآ
أَنــْتَ أَهْـلــُهْ tersebut
secara umum, termasuk para tamu yang sowan (berziarah) kepada Beliau. Disamping
itu, Beliau menyuruh seorang santri untuk menulis sholawat-sholawat tersebut
dan mengirimkannya kepada para ulama / kyai yang diketahui alamatnya dengan
disertai surat pengantar yang beliau tulis sendiri. Isi surat pengantar itu
antara lain; agar sholawat yang dikirim itu bisa diamalkan oleh masyarakat
setempat. Sejauh itu tidak ada jawaban negatif dari para ulama / kyai yang
dikirimi.
Dari hari ke hari semakin
banyak yang datang memohon ijazah amalan Sholawat Wahidiyah. Oleh karena itu
Beliau memberikan ijazah secara mutlak. Artinya disamping diamalkan sendiri
supaya disiarkan / disampaikan kepada orang lain tanpa pandang bulu.
Sejak sebelum lahirnya
Sholawat tersebut, di masjid Kedunglo setiap malam Jum’at (secara rutin)
diadakan pengajian kitab Al-Hikam yang dibimbing langsung oleh Hadhrotul
Mukarrom Muallif sendiri. Pengajian tersebut diikuti oleh para santri,
masyarakat sekitarnya dan beberapa kyai dari sekitar kota Kediri. Pada suatu
pengajian rutin tersebut, Sholawat “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH …..” ditulis di
papan tulis dan Beliau menerangkan / menjelaskan hal-hal yang terkandung di
dalamnya, kemudian memberi ijazah secara mutlak pula untuk diamalkan dan
disiarkan disamping Sholawat “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…”.
Dengan semakin banyaknya
orang yang memohon ijazah dua sholawat tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan,
Bapak KH Mukhtar, Tulung agung, seorang pengamal Sholawat Wahidiyah yang juga
ahli khoth (kaligrafi / tulis Arab) membuat lembaran Sholawat Wahidiyah yang
terdiri dari “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH …..” dan “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU .…”.
Pembuatannya menggunakan stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri serta
dibantu oleh beberapa orang pengamal dari Tulungagung .
Pengajian kitab Al-Hikam
yang dilaksanakan setiap malam Jum’at itu, atas usulan dari para peserta yang
menjadi Pegawai / Karyawan, dirobah menjadi hari Minggu pagi sampai sekarang.
Sebelum pengajian kitab Al-Hikam didahului dengan Sholat Tasbih berjama’ah dan
Mujahadah Sholawat Wahidiyah. Pada suatu Pengajian kitab Al-Hikam Beliau
menjelaskan tentang “HAQIQOTUL WUJUD” sampai pengertian dan penerapan
“BIHAQIQOTIL MUHAMMA-DIYYAH” yang dikemudian hari disempurnakan dengan
penerapan “LIRROSUL-BIRROSUL”. Pada saat itu tersusunlah Sholawat yang ke tiga
yaitu :
عَلَـِيْكَ نـُوْرَ الْخَلْقِ هَـادِيَ اْلأَنَامْ
فَـقَــدْ ظَـلَـمْـتُ أَبـَدًا وَّرَ بّـنـِـىْ
فـَإ ِنْ تـَرُدَّ كُـنْـتُ شَـخـْصًا هَالِكَا
|
*
*
*
|
يَاشَـافِـعَ الْخَلْقِ الصَّلاَة ُ وَالسَّلاَمْ
وََأَصْــلَـهُ وَرُوْحَــه ُ أَدْرِكـْـــنــِى
وَلَيـْــسَ لِى يَا سَـيِّـدِىْ سِـوَاكـَا
|
Sholawat yang ke tiga ini
disebut “SHOLAWAT TSALJUL QULUB” (Sholawat salju hati / pendingin hati). Nama
lengkapnya “SHOLAWAT TSALJUL GHUYUUB LITABRIIDI HAROROTIL-QULUUB” (Sholawat
Salju dari alam ghoib untuk mendinginkan hati yang panas).
Ketiga rangkaian Sholawat
tersebut diawali dengan surat Al-Fatihah, diberi nama“SHOLAWAT WAHIDIYAH”. Kata
“WAHIDIYAH” diambil sebagai tabarukan (mengambil berkah) salah satu dari
“ASMAUL HUSNA” yang terdapat dalam Sholawat yang pertama, yaitu “WAAHIDU”,
artinya “MAHA SATU”. Satu tidak bisa dipisah-pisahkan lagi. Mutlak SATU AZALAN
WA ABADAN. “SATU” bagi Alloh tidak seperti “satu”-nya” makhluq.
Para ahli mengatakan,
bahwa diantara khowas (hasiat) AL-WAAHIDU, adalah menghilangkan rasa bingung,
sumpek, resah / gelisah dan takut. Barang siapa membacanya 1000 kali dengan
sepenuh hati dan khudlu’, maka dia dikaruniai Alloh tidak mempunyai rasa takut
/ khawatir kepada makhluq, di mana takut kepada makhluq itu adalah sumber dari
segala balak / bencana di dunia dan akhirat. Dia hanya takut kepada Alloh saja
! Barang siapa memperbanyak dzikir “AL-WAAHIDU AL-AHAD” atau “YAA WAAHIDU YAA
AHADU” maka Alloh membuka hatinya untuk sadar bertauhid / memahaesakan Alloh
sadar Billah.
Diadakan pertemuan /
silaturrahmi yang diikuti oleh para ulama / kyai dan tokoh masyarakat yang
sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang
dan Mojokerto bertempat di Langgar (Musholla) Bapak KH. Abdul Jalil (Almar-hum)
Jamsaren – Kediri. Musyawarah tersebut dipimpin oleh Hadlrotul Mukarrom Muallif
Sholawat Wahidiyah sendiri. Diantara hasilnya adalah susunan redaksi / kalimat
yang ditulis di dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk garansi / jaminan.
Mengenai redaksi jaminan / garansi itu atas usulan dari Beliau dan disetujui
oleh seluruh peserta musyawarah. Redaksinya adalah : “MENAWI SAMPUN JANGKEP 40
DINTEN BOTEN WONTEN PEROBAHAN MANAH, KINGING DIPUN TUNTUT DUN-YAN WA UKHRON”
-“Kedunglo Kediri”
Menjelang peringatan
ulang tahun lahir-nya Sholawat Wahidiyah yang pertama (EKA WARSA) dalam bulan
Muharram, Lembaran Sholawat Wahidiyah mulai dicetak dengan klise yang pertama
kalinya di kertas HVS putih sebanyak + 2500 lembar. Yang mengusahakan klise dan
percetakan itu Bapak KH Mahfudz dari Ampel-Surabaya, atas biaya dari Ibu Hj.
Nur AGN (almarhumah), Surabaya. Susunan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah yang
dicetak adalah : Hadiah fatihah, “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…………..”, ALLOOHUMMA
KAMAA ANTA AHLUH ………..……”, “YAA SYAAFI’AL KHOLQIS-SHOLAATU WASSALAAM ………” tanpa
“YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH” dengan dilengkapi keterangan tentang cara
pengamalannya dan termasuk garansi tersebut di atas.
Setelah lembaran Sholawat
Wahidiyah dengan susunan di atas beredar secara luas, disamping banyak yang
menerima, juga ada yang menolak / mengontrasinya. Kebanyakan alasan para
pengontras adalah adanya garansi : Menawi sampun jangkep sekawan doso dinten
boten wonten perobahan manah, kenging dipun tuntut dun-ya wa ukhro -“Kedunglo
Kediri”. Mereka memberikan penafsiran tentang garansi dengan pemahaman yang
jauh bertentangan dengan makna sebenarnya. Pemahaman mereka terhadap “garansi”
menjadi : “Barang siapa mengamalkan Sholawat Wahidiyah dijamin masuk surga”.
Sebenarnya kalimat
garansi / pertanggungjawaban tersebut merupakan suatu ajaran atau bimbingan
agar kita meningkatkan rasa tanggung jawab dengan segala konsekwensi kita
terhadap segala sesuatu yang kita lakukan; Bahasa populernya “berani berbuat,
berani bertanggung jawab”.
Setelah pelaksanaan
peringatan ulang tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama, di Kedonglo diadakan
Asrama Wahidiyah I yang diikuti para kyai dan tokoh agama dari daerah Kediri,
Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Malang, Madiun dan Ngawi. Asrama
ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Kuliah-kuliah Wahidiyah diberikan
langsung oleh Beliau sendiri. Di dalam Asrama ini lahirlah kalimat nidak “YAA
SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH”. Untuk melengkapi amalan Sholawat Wahidiyah yang
telah ada, kalimat nidak tersebut dimasukkan dalam lembaran Sholawat Wahidiyah.
Lembaran Sholawat Wahidiyah yang berisikan tiga rangkaian itu beredar dengan
tidak ada perubahan.
Di dalam Kuliah Wahidiyah yang Beliau sampaikan, antara lain Beliau
mnerangkan tentang GHOUTSUZ ZAMAN dengan panjang lebar. Pada saat itu lahir
dari kandungan Beliau :
يَآ أَيّـُـهَـا الْـغَوْثُ سَــــلا َمُ الله ْ
|
*
|
عَـلَــيْـكَ رَبـّـــِنيْ بِـإذْنِ الله
|
وَانـْظـُرْ إِلـَىَّ سَـيّــدِىْ بِنَـظــْرَة ْ
|
*
|
مُـوْصِلَـةٍ لـّّلْحَـضْـرَةِ الْـعَـلِـيَّةْ
|
Amalan tersebut merupakan suatu jembatan emas
yang menghu-bungkan tepi jurang pertahanan nafsu di satu sisi dan tepi
kebahagiaan yang berupa kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi, Shollalloohu
‘alaihi wasallam di sisi lain. Para Pengamal Sholawat Wahidiyah menyebutnya
“ISTIGHOTSAH”. Ini tidak langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Sholawat
Wahidiyah dalam lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat. Tetapi para
Pengamal Wahidiyah yang sudah agak lama dianjurkan untuk mengamalkannya
terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.
Beliau memberi ijazah lagi berupa kalimat
nida’ “ففروا الى الله dan وقــــل جــــاء الحـــــق Kalimat nidak ini pada saat itu juga belum dimasukkan
dalam rangkaian pengamalan Sholawat Wahidiyah, tetapi dibaca oleh imam dan
makmum pada akhir setiap do’a. Begitu juga “WAQUL JAA-AL HAQQU…” belum
dirangkaikan dengan “FAFIRRUU ILALLOOH” seperti sekarang. Tentulah ini suatu
kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang kita
tidak mampu menguraikan, tegasnya kita tidak mengetahuinya.
Pada tahun 1968 lahir
Sholawat :
عَـلَى مُحَـمَّـدٍ شَـفِــيْـعِ اْلأُمَــمِ
|
*
|
يـَارَ بّـَنـَا اللـّــهُـمَّ صَـلّ سَلّــِمِِ
|
بـِالْـوَاحـِدِيـَّة ِلِـرَبّ الْـعَالَمِـيْن
|
*
|
وَاْلآلِِ وَاجْـعَـلِ اْلأَنـَـامَ مُسْـرِعِـيْن
|
قَـرّبْ وَأَلّـِفْ بـَيْـنَـنَـا يـَارَبَّـــنَا
|
*
|
يـَارَبَّنَا اغــْفِرْ يَسّـِرافْتـَحْ وَاهْدِنـَا
|
Kemudian “YAA AYYUHAL
GHOUTSU….” dan Sholawat ini dima-sukkan ke dalam lembaran Sholawat Wahidiyah
yang diedarkan kepada masyarakat.
Pada tahun 1971,
menjelang Pemilu di negara kita, lahirlah Sholawat :
يَاشَافِـعَ الـْخَــلْقِِ حَبـِيـْبَ الله
|
*
|
صَـلاَتُـهُ عَـلَـيْكَ مَـعْ سَـلا َمِـهِ
|
||
ضَلَّتْ وَضَـلَّّّتْ حِيْلَـتِـىفِىبَلْدَتِى
|
*
|
خُـذْ بِيَـدِىْ يَا سَـيّـِدِىْ وَاْلأُ مَّـةِ
|
||
يَا سَـيّـِدِيْ يَا رَسُـــوْلَ
الله
|
||||
Kemudian Sholawat ini dimasukkan ke dalam
lembaran Sholawat Wahidiyah diletakkan sesudah “YAA AYYUHAL GHOUTSU…” sebelum
“YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI….”
Pada tahun 1972 Beliau menambah do’a :
“ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WA HAADZIHIL BALDAH” (belum ada kalimat “YAA
ALLOOH”).
Pada tahun 1973 bacaan nida’ “FAFIRRUU ILALLOOH”
dirangkaikan dengan “WAQUL JAA-AL HAQQU…” dan didahului dengan do’a :
بِسْـمِ اللهِ الـَّرحْمــنِ الرَّحِـيْـم .اللّـهُـمَّ بـِحَـقّ اسْمِـكَ اْلأَعْـظـَــمْ
, وَبـِجَـاهِ سَــيّـِـدِنـَا مُحَـمَّـدٍ صَلـَّى الله ُعَـلَـيْه ِوَسَـلـَّـمْ
, وَبِـبَرَكَـةِ غـَــوْثِ هَـذَا الزَّمَـــانْ وَأَعْوَانِـهِ وَسَـآئـِرِ
أَوْلِيَـآئِكَ يـَآ أَلله , يـَآ أَللهْ , يـَآ آللهْ , رَضِىَ اللهُ
تَعَالَىعَـنْـهُمْ × 3
بَـلّـِغْ جَـمِيْعَ الـْعَالَمِــيْنَ نـِدَآءَنـَا هَـذَا وَاجْــعَـلْ
فِـيْـهِ تـَأْثِـــيْرًا بـَلِـيْغًـا ×3
فـَإِنـَّك َعَـلَى كُلّ شَـيْـئٍٍِ قَدِيـْـر, وَبِـاْلإِجَـابـَةِ
جَدِيْـر ×3
فَـفِرُّوآ إِلَى الله ْ× 7
وَقُـلْ جَآءَ الْحَـقُّ وَزَهَـقَ الْـبَاطِلُط إِنَّ الْـبَاطِلَ كـَانَ
زَهُـوْقًا × 3
Pada saat itu pula mulai dilaksanakan nida’
“FAFIRRUU ILALLOOH” dengan berdiri menghadap empat penjuru yaitu pada saat
acara Mujahadah dalam rangka peletakan batu pertama Masjid Desa Tanjungsari
Tulungagung yaitu Masjid KH. Zaenal Fanani.
Demikian penambahan dan penyempurnaan Sholawat
Wahidiyah secara berangsur seirama dengan pengembangan dan penyempurnaan Ajaran
Wahidiyah yang diberikan oleh Hadhrotul Mukarrom Yai Muallif. Sholawat
Wahidiyah sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi di dalam ummat masyarakat
baik di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya Beliau menambah do’a “ALLOOHUMMA
BAARIK FII HAADZIHIL-MUJAAHADAH YAA ALLOOH” yang diletakkan sesudah
“ALLOO-HUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH”.
Seterusnya ada tambahan dalam Sholawat Ma’rifat,
yaitu sesudah bacaan “WATARZUQONAATAMAAMA MAGHFIROTIKA” ditambah “YAA ALLOOH”.
Demikian juga setelah “WATAMAAMA NI’MATIKA” dan seterus-nya sampai “WATAMAAMA
RIDLWAANIKA” Jadi sebagaimana dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah sampai
sekarang.
Ditambahkan doa “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA
KHOLAQTA WAHAA-DZIHIL BALDAH” ditambah “YAA ALLOOH”, dan doa “ALLOOHUMMA BAARIK
FII HAADZI-HIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH” dirobah menjadi “WAFII HAADZIHIL
MUJAAHADAH YAA ALLOOH”. Sehingga rangkaiannya menjadi “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA
KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOOH, WAFII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH”.
Lembaran Sholawat Wahidiyah yang ditulis dengan
huruf Al-Qur’an (huruf Arab) diperbaharui dengan susunan yang sudah lengkap
dengan disertai petunjuk cara pengamalannya, Ajaran Wahidiyah dan keterangan
tentang ijazah dari Beliau secara mutlak. Susunan dalam Lembaran Sholawat
Wahidiyah seperti itu tidak ada perobahan hingga sekarang kecuali beberapa
kalimat dalam penjelasan keterangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
aturan bahasa.
Demikian secara kronologis atau urut, sejarah
ringkas lahirnya Sholawat Wahidiyah dari awal sampai penyempurnaan di setiap
periode. Setiap penyempurnaan sudah barang tentu memiliki sirri-sirri (rahasia)
yang kita tidak mengetahui secara pasti. Hanya ada sebagian dari Pengamal
Wahidiyah yang ditunjukkan sirri-sirrinya secara bathiniyah. Mari dalam kesempatan ini kita sowan
di haribaan Beliau dengan adab lahir batin yang sebaik-baiknya.
REDAKSIONAL
SHOLAWAT WAHIDIAH LENGKAP BESERTA ARTINYA:
ILAA HADLROTI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASSALAM, ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x)
Di hadiyahkan ke haribaan Junjungan kami Kanjeng Nabi Besar Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wasallam. Al-Fatihah
WA ILAA HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA’AWAANIHI
WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI RODLIYALLOOHU TA’AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca
Surat Fatihah 7x)
Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum. Al-Fatihah
Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum. Al-Fatihah
ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD,
SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA MUHAMMADIW-WA’ALAA AALI SAYYIDINAA
MUHAMMAD. FII KULLI LAMHATIW WA NAFASIM BI’ADADI MA’LUMAATILLAAHI, WA FUYU
DHOTIHI WA AMDAADIH. (100X)
Yaa Alloh, Yaa Tuhan Maha Esa, Yaa Tuhan Maha Satu, Yaa Tuhan Maha Menemukan, Yaa Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat salam barokah atas junjungan kami Kanjeng Nabi Muhammad dan atas keluarga Kanjeng Nabi Muhammad pada setiap kedipnya mata dan naik turunnya napas sebanyak bilangan segala yang Alloh Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian dan kelestarian pemeliharaan Alloh.
Yaa Alloh, Yaa Tuhan Maha Esa, Yaa Tuhan Maha Satu, Yaa Tuhan Maha Menemukan, Yaa Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat salam barokah atas junjungan kami Kanjeng Nabi Muhammad dan atas keluarga Kanjeng Nabi Muhammad pada setiap kedipnya mata dan naik turunnya napas sebanyak bilangan segala yang Alloh Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian dan kelestarian pemeliharaan Alloh.
ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK
‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA,WASYAFII’INAA,WAHABIIBINAA,WAQURROTI A’YUNINAA
MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA
BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO WALAA
NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA NASKUNA ILLAA
BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI’MATIKA YAA
ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA
RIDLWANIKA YAA ALLOH; WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA AALIHI
WASHOHBIH. ‘ADADAMAA AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA
ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN. (7X)
Yaa Alloh, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat salam barokah atas Junjungan kami, Pemimpin kami, Pemberi Syafa’at kami, Kecintaan kami, dan Buah jantung hati kami Kamjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi WaSallam yang sepadan dengan keahlian Beliau, kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, dengan hak kemuliaan Beliau, tenggelamkanlah kami didalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, dan tiada kami bergerak maupun berdiam, melainkan senantiasa merasa didalam samudra Tauhid-MU dan kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ni’mat karunia-MU yang sempurna Yaa Alloh, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Yaa Alloh, cinta kepad-MU dan menjadi kecintaan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ridho kepada-MU dan memperoleh ridho-MU pula yang sempurna Yaa Alloh. Dan sekali lagi Yaa Alloh, limpahkanlah sholawat salan dn barokah atas Beliau Kanjeng Nabi dan atas keluarga dan sahabat Beliau sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh Ilmu-MU dan termuat di dalam Kitab-MU, dengan Rahmat-MU Yaa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan segala puji bagi Alloh Tuhan seru sekalian alam.
Yaa Alloh, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat salam barokah atas Junjungan kami, Pemimpin kami, Pemberi Syafa’at kami, Kecintaan kami, dan Buah jantung hati kami Kamjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi WaSallam yang sepadan dengan keahlian Beliau, kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, dengan hak kemuliaan Beliau, tenggelamkanlah kami didalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, dan tiada kami bergerak maupun berdiam, melainkan senantiasa merasa didalam samudra Tauhid-MU dan kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ni’mat karunia-MU yang sempurna Yaa Alloh, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Yaa Alloh, cinta kepad-MU dan menjadi kecintaan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ridho kepada-MU dan memperoleh ridho-MU pula yang sempurna Yaa Alloh. Dan sekali lagi Yaa Alloh, limpahkanlah sholawat salan dn barokah atas Beliau Kanjeng Nabi dan atas keluarga dan sahabat Beliau sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh Ilmu-MU dan termuat di dalam Kitab-MU, dengan Rahmat-MU Yaa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan segala puji bagi Alloh Tuhan seru sekalian alam.
YAA SYAFI’AL-KHOLQISH-SHOLAATU WASSALAAM ” ‘ALAIKA NUUROL
KHOLQI HAADIYAL ANAAM
WA ASHLAHUU WA RUUHAHU ADRIKNII ” FAQODH DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA ” FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSON HAALIKAA (3x)
Duhai Kanjeng Nabi pemberi Syafa’at makhluq Kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan ¨ Duhai Nur cahaya makhluq , pembimbing manusia ¨ Duhai unsur dan jiwa makhluq,bimbing dan didiklah diriku ¨ Maka sungguh aku manusia yang dholim selalu ¨ tiada arti diriku tanpa engkau Duhai Yaa Sayyidii ¨ jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah ‘ku ‘kan hancur binasa.
WA ASHLAHUU WA RUUHAHU ADRIKNII ” FAQODH DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA ” FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSON HAALIKAA (3x)
Duhai Kanjeng Nabi pemberi Syafa’at makhluq Kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan ¨ Duhai Nur cahaya makhluq , pembimbing manusia ¨ Duhai unsur dan jiwa makhluq,bimbing dan didiklah diriku ¨ Maka sungguh aku manusia yang dholim selalu ¨ tiada arti diriku tanpa engkau Duhai Yaa Sayyidii ¨ jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah ‘ku ‘kan hancur binasa.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH (7x)
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH ” ‘ALAIKA ROBBINII
BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH ” MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL’ALIYYAH. (3x)
Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh kuhaturkan ¨ Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh ¨ dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii ¨ radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH ” MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL’ALIYYAH. (3x)
Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh kuhaturkan ¨ Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh ¨ dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii ¨ radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku
YAA SYAAFI’AL-KHOLQI HABIIBALLOOHI ” SHOLAATUHUU’ALAIKA
MA’SALAAMIHII,
DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII ” KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII (3x)
Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at makhluq, duhai Kanjeng Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan salam Alloh aku sanjungkan ¨ jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat, cepat raihlah tanganku Yaa Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini.
DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII ” KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII (3x)
Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at makhluq, duhai Kanjeng Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan salam Alloh aku sanjungkan ¨ jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat, cepat raihlah tanganku Yaa Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH (7x)
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI SALLIMI ” ‘ALAA MUHAMMADIN
SYAFII’IL UMAMI,
WAL-AALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI’IIN ” BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL-‘AALAMIIN
YAA ROBBANAGH-FIR YASSAIR IFTAH WAHDINAA ” QORRIB WA-ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA. (3x)
Yaa Tuhan kami Yaa Alloh, limpahkanlah Sholawat dan Salam ¨ atas Kanjeng Nabi Muhammad pemberi Syafa’at ummat ¨ dan atas keluarga Beliau, dan jadikanlah ummat manusia cepat-cepat lari, ¨ lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta alam, ¨ Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, permudahkanlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, dan tunjukilah kami ¨ , pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami, Yaa Tuhan kami.
WAL-AALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI’IIN ” BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL-‘AALAMIIN
YAA ROBBANAGH-FIR YASSAIR IFTAH WAHDINAA ” QORRIB WA-ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA. (3x)
Yaa Tuhan kami Yaa Alloh, limpahkanlah Sholawat dan Salam ¨ atas Kanjeng Nabi Muhammad pemberi Syafa’at ummat ¨ dan atas keluarga Beliau, dan jadikanlah ummat manusia cepat-cepat lari, ¨ lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta alam, ¨ Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, permudahkanlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, dan tunjukilah kami ¨ , pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami, Yaa Tuhan kami.
ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA
ALLOH, WA FII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOH ! (7X)
Yaa Alloh limpahkanlah berkah didalam segala makhluq yang engkau ciptakan, dan didalam negri ini Yaa Alloh, dan didalam mujahadah ini Yaa Alloh
Yaa Alloh limpahkanlah berkah didalam segala makhluq yang engkau ciptakan, dan didalam negri ini Yaa Alloh, dan didalam mujahadah ini Yaa Alloh
I S T I G H R O O Q
( Diam tidak membaca apa-apa, segenap perhatian lahir bathin, fikiran dan perasaan dipusatkan hanya kepada ALLOH! Tidak ada acara selain ALLOH )
AL FAATIHAH
(1 X) Kemudian berdo’a seperti di bawah ini
( Diam tidak membaca apa-apa, segenap perhatian lahir bathin, fikiran dan perasaan dipusatkan hanya kepada ALLOH! Tidak ada acara selain ALLOH )
AL FAATIHAH
(1 X) Kemudian berdo’a seperti di bawah ini
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM,
ALLOOHUMMA BIHAQQISMIKAL A’DHOM WABIJAAHI SAYYIDINAA
MUHAMMADIN SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM WABIBARAKATI GHOUTSI HADZAZ-ZAMAAN WA
A’WAANIHI WA SAAIRI AULIYAAIKA YAA ALLOH, YAA ALLOH, YAA ALLOH, RODLIYALLOOHU
TA’AALA’ANHUM 3X
Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang( Yaa Alloh, dengan hak kebesaran Asma-MU, dan dengan kemuliaan serta keagungan Kanjeng Nabi Mahammad Sollallohu ‘Alaihi WaSallam, dan dengan Barokahnya Ghoutsu Hadhaz Zaman wa A’wanihi serta segenap Auliya’ Kekasih-MU Yaa Alloh, Yaa Alloh Rodiyallohu Ta’ala Anhum
Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang( Yaa Alloh, dengan hak kebesaran Asma-MU, dan dengan kemuliaan serta keagungan Kanjeng Nabi Mahammad Sollallohu ‘Alaihi WaSallam, dan dengan Barokahnya Ghoutsu Hadhaz Zaman wa A’wanihi serta segenap Auliya’ Kekasih-MU Yaa Alloh, Yaa Alloh Rodiyallohu Ta’ala Anhum
BALLIGH JAMII’AL ‘ALAMIIN NIDAA-ANAA HAADZAA WAJ’AL FIIHI
TAKTSIIROM-BALIIGHOO 3X
Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al Alamin dan letakkanlah kesan yang sangat mendalam
Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al Alamin dan letakkanlah kesan yang sangat mendalam
FAINNAKA ‘ALAA KULLI SYAI-INGQODIIR WABIL IJABATI JADIIR
3X
Maka sesungguhnya engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ijabah
Maka sesungguhnya engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ijabah
FAFIRRUU ILALLOOH (7X) = Larilah
kembali kepada Alloh !
WAQUL JAA-ALHAQQUWAZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA
ZAHUUQOO (3X)
Dan katakanlah (wahai Muhammad) perkara yang hak telah datang dan musnahlah perkara yang batal, sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah.Al-Fatihah ( membaca surat Al-Fatihah satu kali )
Dan katakanlah (wahai Muhammad) perkara yang hak telah datang dan musnahlah perkara yang batal, sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah.Al-Fatihah ( membaca surat Al-Fatihah satu kali )
FAFIRRUU ILALLOH dan WAQUL JAA-ALHAQQU
dibaca bersama-sama imam dan ma’mum. Maknanya : Larilah kembali kepada
Alloh ! Dan semoga akhlaq=akhlaq batal yang rusak dan merusakkan segera diganti
oleh Alloh dengan akhlaq yang baik dan yang menguntungkan! Kedua ajakan
tersebut ditujukan kepada segenap masyarakat manusia dan jin seluruh dunia,
terutama ditujukan kepada pribadi si pembaca sendiri.
A L F A A T I H A H (1X)
S e l e s a i
@Majalah Aham Edisi 31/Th.IV Rajab 1421
/Oktober 2000, Penerbit Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren
Kedunglo – Kota Kediri dan link/sumber terkait KH Abdul Majid Makruf.
S e l e s a i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar