Syekh Ibrahim
Mufti seorang penyebar Islam yang datang dari Timur Tengah. Kisah
tentang Syekh ini mengalir turun-temurun. Dari cerita itu, dikisahkan
Syekh Ibrahim Mufti datang dari Iran. Ada juga yang
mengatakan, ia datang dari Palestina. Sembari berdakwah, ia juga
berdagang dari satu negeri ke negeri lain, termasuk ia juga singgah ke
Taram, Limapuluh Kota.
“Di Taram, ia mendirikan Surau Tuo. Surau ini telah ada di Nagari Taram semenjak tahun 1835.
Pada waktu itu, tengah bergolak Perang Paderi. Pada masa itu,
bangunan surau masih kecil dan terbuat dari kayu. Adapun perancang dari
surau ini adalah Syekh Ibrahim Mufti sendiri,” begitu jelas H.A.B.DT.Tumanggung yang merupakan wakil Ketua Dewan Penyantun LKAAM Kabupaten Limapuluh Kota.
Dalam perjalanannya di dunia dakwah, Syekh banyak bertemu dengan
pemuka-pemuka agama di daerah Baso, Kamang, dan Lintau. Dia mengajarkan
bahwa dalam mengembangkan agama Islam harus toleran, persuasif, dan
edukatif. Hal ini sangat berlawanan dengan semangat para pemuka agama
waktu itu, bahwa orang-orang yang tidak melakukan syariat Islam dan
orang-orang berjudi, merokok makan sirih harus ditumpas dengan
kekerasan.
Di Taram, ia mempunyai dua istri. Istri pertamanya bernama Laut Aceh
dan memiliki anak bernama M. Jamil dan Jamilan. Adapun peninggalan Syekh
yang masih tersimpan dengan baik berupa tongkat, ember dan beberapa
lembar surat. Dengan istri keduanya yang bernama Pisa. Ia memiliki
banyak keturunan. Salah seorang anaknya bernama M. Nurdin. Ia pergi ke
Mekkah dan seorang lagi bernama H. Kamarudin yang mengembangkan Islam
ke Aceh.
Berdasarkan penelusuran Haluan di Nagari Taram tempat keturunan Syekh Ibrahim Mufti, terdapat naskah yang telah diselamatkan Kementerian Agama di mana salah satu naskahnya berbicara mengenai Asbabun Nuzul
(Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Alquran). Belum ada bukti valid
ditemukan, apakah naskah ini merupakan salinan dari karya As-Suyuthi
yang berjudul Asbabun Nuzul (dicetak di pinggir Tafsir Jalilain) atau tidak.
Keberadaan naskah yang menguraikan Asbabun Nuzul ini memberikan kesan bahwa Syekh Ibrahim Mufti dahulunya memang mansyur dalam bidang keilmuan apalagi mengenai tafsir Asbabun Nuzul ini.
Sistem dakwah yang dianut Syekh Ibrahim Mufti atau yang dikenal juga sebagai Syekh Taram
ini adalah dengan cara mengumpulkan orang di satu tempat (tanah
lapang), di bawah naungan kayu besar ataupun di surau. Dari dakwah ini,
beliau telah memiliki banyak murid.
Dt Tumanggung mengatakan, cerita mengenai kematian dari Syekh Taram
ini, dikarenakan sewaktu ia sedang bercukur rambut di Surau Tuo. Baru
setengah dari rambutnya yang berhasil dicukur, tiba-tiba dia bangkit
sambil berkata: “Kota Mekkah terbakar lalu Syekh menghilang dalam
sekejab. Setelah kejadian tersebut ia tidak pernah kembali lagi ke
Nagari Taram.”
“Namun tiga tahun kemudian seseorang yang kembali dari Tanah Suci
mengatakan bahwa Kota Mekkah terbakar dan orang yang bercukur sebelah
yang memadamkan apinya,” kata Dt Tumanggung.
Anak dari istri pertamanya Jamil pergi mencari ayahnya ke Mekkah.
Konon kisahnya ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya dan akhirnya
meninggal di Palestina. Sementara adiknya bernama Jamilan bermimpi
tentang ayahnya dan mengatakan, ‘Saya jangan dicari lagi, engkau lihat
saja pada malam 27 Rajab sumber cahaya. Dimana ada cahaya di sanalah
ayahmu ini.’
Adapun kuburan keramat yang ada di samping Surau Tuo bukanlah jasad
dari Syekh Ibrahim Mufti, tetapi itu adalah sumber cahaya yang
dipesankannya pada Jamilan melalui mimpi. Menurut cerita dari DT
Tumanggung, banyak kejadian aneh sepeninggalan Syekh Ibrahim Mufti.
Kejadian aneh tersebut di antaranya adalah ketika kebakaran terjadi
di Bukit Godang salah satu daerah di Nagari Taram. Di mana kampung di
bawah bukit tersebut juga ikut terbakar. Angin pun bertiup menuju Surau
Tuangku Keramat. Namun secara tiba-tiba hujan deras turun membasahi
surau sehingga api yang datang pun padam seketika, sehingga surau Tuo
Tuangku selamat dari kobaran api.
“Kolam ikan yang berada halaman masjid dibuat oleh beliau semasa
hidupnya. Ikan di kolam tersebut didatangkan dari Kapalo Banda. Ketika
Syekh Ibrahim Mufti memasukkan tongkatnya ke dalam air Kapalo
Banda, dan menghelanya menurut aliran tali bandar, sehingga ikan-ikan
yang ada mengikuti tongkatnya dan terus masuk ke kolam besar tersebut,”
terang Dt Tumanggung.
Ikan-ikan itu, tetap ada, yang diperkirakan beratnya telah mencapai
15 kg. Ikannya jinak dan bisa diberi makan dengan telapak tangan. Namun,
sewaktu tentara Jepang masuk ke Nagari Taram pada tahun 1944, kolam itu
di bom dengan dinamit yang menyebabkan ratusan ikan mati. Setelah
kejadian itu, dua nyawa tentara Jepang melayang karena dinamitnya
sendiri.
Ada lagi cerita lain. Ada sorang petani yang menanam buah nangka di
halaman rumahnya dan berjanji jika nangka ini telah berbuah, maka buah
pertamanya akan ia serahkan ke Surau Tuo. Namun ia mengingkarinya. Ia
hanya mengantarkan sebelah dari buah yang matang itu. Anehnya, semua
buah nangka yang tumbuh di batangnya menjadi hampa sebelah (hanya
setengah yang berisi). Sehingga daerah itu diberi nama Cibodak Ampo. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar