• About
  • Contact
  • Sitemap
  • Privacy Policy
IBX5AA3533ABC48F

Lorem ipsum

ILMU-ILMU LADUNI KH ABDUL MAJID MA’RUF, PENGASUH PONPES KEDUNGLO KEDIRI

 on Minggu, 09 Februari 2014  










“IKUTlLAH BERJUANG MEMPERBAIKI MENTAL MASYARAKAT LEWAT JALAN BATHINIYAH”.
Kali ini kita akan membahas sosok fenomenal. Sebelumnya, kita pasti mengingat doa ilmu kebal berikut ini: ALLAHUMMA SALIMNA MINAL BOM WAL BUNDUQ, WAL BEDIL WAL MARTIL, WA UDDADA HAYATINA. sambil minum air yang biasa dipakai untuk wudhu di masjid, maka kebal lah dia. Itulah amalan yang diberikan kepada para pejuang 45 yang bertempur melawan penjajah yang menyerang Surabaya pada 10 Nopember 1945. Sang pengijasah amalan ini bukan orang sembarangan, dia adalah Hadlrotus Syekh Al-Mukarrom KH Abdul Madjid Ma’ruf, Pengasuh Pesantren Kedunglo, Desa Bandar Lor, Kota Kediri.
KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir dari pernikahan Syaikh Mohammad Ma’roef, pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah dengan Nyahi Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar, Melati Kediri. KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra ke tujuh dari sembilan bersaudara.
Beliau lahir di tengah pesantren yang luas nan sepi. Dikelilingi rawa-rawa dengan jumlah santri yang tak pernah lebih dari empat puluh orang, Kedunglo.
Ketika masih baru berumur dua tahun oleh bapak-ibunya, gus Madjid dibawa pergi haji ke Makkah Al Mukarramah. Di Makkah, setiap memasuki jam dua belas malam, Kyai Ma’roef selalu menggendong Gus Madjid ke Baitullah di bawah Talang Mas. Di sana Kyai Ma’roef berdoa, agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang sholeh hatinya, Kyai Ma’roef selalu mendoakan Gus Madjid agar menjadi orang shaleh. Konon selama berada di Mekah, si kecil Agus Madjid yang juga dikhitankan di sana akan diambil anak oleh salah seorang ulama Arab dan disetujui oleh Mbah Yahi Ma’roef. Beruntung Mbah Nyahi Hasanah keberatan, sehingga Agus Madjid tetap berada dalam asuhan kedua orang tuanya.
Cerita Gus Madjid akan diangkat anak oleh ulama Mekah memunculkan sebuah ungkapan, “Kalau bukan karena Kyai Madjid maka Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir. Dan kalau bukan karena Nyahi Hasanah, Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir di bumi Kedunglo”.

Sepulang dari Mekah, muncul kebiasaan unik pada diri Agus Madjid. Beliau yang masih dalam usia tiga tahun (balita), hampir di setiap kesempatan berkata, “Qul, dawuha sira Muhammad” (Qul, katakanlah, wahai Muhammad) sambil meletakkan tangannya di atas kepala. Kebiasaan semacam ini terus berlangsung hingga Beliau memasuki usia tujuh tahun. Kebiasaan lain Beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang suka bergaul dan sangat pendiam. Romlah dan Mbakyunya ini pula yang mula pertama mengajari Beliau baca tulis Al-Qur’an.
Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan keistimewaan yang dimiliki terus dibawanya hingga Beliau memasuki usia remaja. Karena sifat pendiam Agus Madjid inilah hingga tidak ada yang tahu keistimewaan-keistimewaan Beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun Gus Madjid secara lahiriyah nampat tidak istimewa dibandingkan dengan Gus Malik adiknya yang pandai dan sering menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak sebagai wakil ayahnya apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan, hingga tidak sedikit yang menyangka bahwa Gus Maliklah calon penerus ayahnya. Akan tetapi pada hakikatnya, Kyai Ma’roef telah mempersiapkan Agus Madjid sebagai penggantinya sejak Beliau baru dilahirkan. Terbukti, meski Gus Madjid masih baru berusia dua tahun ada yang mengatakan baru berumur 1,5 tahun, ayahnya telah membawanya serta pergi haji. Padahal kita semua tahu bagaimana kondisi transportasi dan akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan dan sangat melelahkan. Belum lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain bahwa Gus Madjid dipersiapkan sebagai calon penerus ayahnya, adalah setiap mendekati bulan haji, Kyai Ma’roef selalu kedatangan tamu dari kalangan sayyid dan sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong Gus Madjid, Nyahi Hasanah berkata kepada tamunyam, “Niki, Ndoro Sayyid yugo kulo, njenengan suwuk, dados tiyang ingkang sahaleh atine.” (Ini Tuan Sayyid, do’akan anak saya agar menjadi orang yang shaleh hatinya).
Pernah, suatu hari saat Kyai Ma’roef sedang bepergian, datang seorang habib hendak bersilaturrahim. Karena Kyai Ma’roef tidak ada, si tamu minta dipanggilkan Gus Madjid, katanya akan dido’akan. Karena Gus Madjid sedang bermain dan belum mandi, maka abdi dalem (pembantu) membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui si tamu. “Wah, ini bukan Gus Madjid, tolong bawa Gus Madjid kemari!” kata habib kepda abdi dalem.
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah, namun hanya sampai kelas dua. Selanjutnya, Kyai Ma’roef mengantar Agus Madjid mondok di Jamsaren Solo pada Kyai Abu Amar. Genap tujuh hari di Jamsaren, Agus Madjid dipanggil gurunya, disuruh kembali ke Kedunglo. “Sampun Gus, panjenengan kundur mawon!”, sambil dititipi surat agar disampaikan kepda ayahnya. Gus Madjid menuruti perintah Kyai Abu Amar, meski dengan pikiran penuh tanda tanya kembali ke Kediri. Terdorong oleh jiwa muda ayng haus akan ilmu pengetahuan, Agus Madjid kemudian mondok di Mojosari, Loceret, Nganjuk. Namun setelah hari ketujuh, Beliau dipanggil Kyai Zainuddin, gurunya.
“Gus, njenengan sampun cukup, mboten usah mondok, kundur kemawon, wonten ndalem kemawon”. (Gus, Anda sudah cukup, tidak mondok, pulang saja, di rumah saja). Agus Madjid pun kembali ke Kedunglo dan matur kepada ayahnya, kalau gurunya tidak bersedia memberinya pelajaran. “Wis kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu, kamu aku didik sendiri saja, satu bulan nilainya sama dengan seribu bulan), ujar Kyai Ma’roef.
Maka setelah empat belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya adalah ayahnya sendiri, Kyai Haji Mohammad Ma’roef RA yang telah mewarisi ilmu dari Kyai Kholil, Bangkalan. Oleh ayahnya, setiap selesai sholat maghrib, Gus Madjid diajari aneka macam ilmu yang diajarkan di pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok pesantren. Sehingga ayahnya pernah berkata kepada adik Gus Madjid, “Madjid iku nggak kalah karo anak pondokan” (Madjid itu tidak kalah dengan anak pesantren).
Tak heran kalau pada akhirnya Beliau tumbuh sebagai pemuda ayng sangat ‘alim dan wara’. Ibarat padi semakin tinggi ilmunya Beliau semakin tawadhu’ dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik kediamannya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan. Tapi itulah keistimewaan Beliau yang tidak pernah menammpakan keistimewaannya, karamahnya kepada sesamanya.
Menikah
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang. Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya. Karena disamping Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya, Agus Madjid adalah sosok pemuda ‘alim berwajah tampan nan rupawan bagai rembulan.
Namun dari sekian gadis, putri-putri kyai yang mendambakan dipersunting oleh Agus Madjid, akhirnya yang menang adalah dara manis yang sedang beranjak remaja, bernama Shofiyah yang kala itu berusia 16 tahun putri K. Moh. Hamzah dengan Ibu Ummi Kulsum, buyut KH. Mansyur pendiri Kota Tulung Agung yang mendapat tanah perdikan dari Sultan Hamengkubuwono II karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung Agung, dan kini menjadi alun-alun kota Tulung Agung.
Semula, oleh ibunya Agus Madjid dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu “Nyahi Zainab” putri KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo (akhirnya dinikahi oleh KH. Mahrus Lirboyo. Red). Apalagi Agus Madjid saat ditawari akan dinikahkan dengan saudara sepupunya yang cantik dan pinter itu hanya diam saja. Meski tidak mendapat jawaban yang pasti dari Agus Madjid, antara pihak Kedunglo dan pihak Lirboyo sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang masih kerabat dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil Bangkalan ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Tetapi entah mengapa, ketika Pak Naib meng-akid, calon pengantin putra hanya diam saja tidak menjawab. Berkali-kali Pak Naib mengucapkan ijab tetapi tidak mendapat jawabab qobul dari Agus Madjid. Maka menghertilah kedua orang tuanya termasuk calon mertuanya, kalau Gus Madjid tidak mau menikah dengan “Nyahi Zainab”, saudara sepupunya tersebut. Lepas dari perkawinan antara kerabat, Agus Madjid ditawari kembang dari Tawangsari, Tulung Agung yang sedang mekar-mekarnya oleh Yusuf santri ayahnya yang tak lain adlah paman si gadis. Agus Madjid setuju dan nontoni (melihat) si gadis yang sedang memetik beberapa kuntum Melati dari balik jendela di bawah menara masjid. Si gadis itu tak lain adalah Shofiyah putri ke-7 dari 12 bersaudara.
Perkawinan antara Kyai Abdul Madjid dengan Nyahi Shofiyah dikaruniai 14 orang anak. Keempatbelas putra-putri itu adalah Ning Unsiyati (Almh), Ning Nurul Isma, Ning Khuriyah (Almh), Ning Tatik Farikhah, Agus Abdul Latief, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah (Almh), Ning Djauharatul Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh. Hasyim Asy’ari (Alm), Ning Tutik Indyah, Agus Syafi’ Wahidi Sunaryo, Ning Khusnatun Nihayah dan Ning Zaidatun Inayah.
Kepribadiannya
Mbah KH. Abdul Madjid QS wa RA mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang hidup sejaman dengan Beliau, akhlak Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA adalah bi akhlaqi Rasulillah SAW. Berbadan sedang, dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus, agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa Beliau mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa. Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak gua, menunjukkan bahwa Beliau seorang yang mempunyai pemikiran yang tajam dan dalam. Di antara kedua matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai pertanda Beliau Mbah Yahi Madjid memiliki otak yang brilian. Tangannya halus dan lembut, selembut hatinya yang pemaaf. Kalau berjalan, Beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah. Terkadang Beliau juga menoleh ke kiri/kekanan untuk melihat situasi dan keadaan jamaah. Mengenai jalannya Mbah Yahi ini, Kyai Zainudin menuturkan bahwa yang paling mendekati jalannya Mbah Yahi adalah Beliau Romo Yahi Abdul Latief Madjid RA, ketika Beliau mios (berangkat) ke masjid untuk pengajian Minggu pagi.
Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, Beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat Beliau dan tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan jawami’ kalam. Artinya, kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena Beliau mempuNyahi kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan yang dituturkannya. Beliau mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Beliau memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampat tidak punya ongkos buat pulang, disangoni (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi. Pernah Mbah Yahi memberi uang belanja kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah) yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi memberikan jubahnya kepada si tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakainya sekali tidak dipakainya lagi. Karena tak heran kalau Beliau sering mencuci pakainnya sendiri bahkan juga menguras jeding-nya (bak mandi) sendiri. Dalam masalah ini Beliau pernah mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit. Bila marah, Beliau cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau Beliau mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan sperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Perihal marahnya Mbah Yahi QS wa RA ini, Mbah Nyahi sebagai orang terdekat yang telah menemani Beliau lebih dari 40 tahun menuturkan, “Kalau Beliau kurang berkenan kepada saya, atau ada kesalahan ayng telah saya lakukan, tetapi saya kurang menyadarinya, Beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah tidak seperti biasanya. Kalau Mbah Yahi sudah demikian, saya bingung dan sedih sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di amta Beliau? Kemudian satu persatu saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga Beliau tidak menegur saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan yang telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian Beliau menegur saya dan selanjutnya seperti tak pernah terjadi apa-apa.”
Dari sini kita tahu kalau kehidupan rumah tangga Beliau jauh dari perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengoreksi kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi, yang sering berfatwa agar para pengamal lebih sering nggrayahi githoke dewe (mengoreksi kesalahan sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain, ternyata terlebih dahulu diterapkan pada keluarga Beliau. Kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dan Mbah Nyahi adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis dan sangat bahagia. Sebagai suami, Mbah Yahi adalah sosok suami yang romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Meski sebagai putra kyai, Mbah Yahi tidak segan-segan menghibur istrinya dengan mengajaknya menonton pasar malam, seraya menggandeng tangan Mbah Nyahi. Bahkan Beliau juga menggendong Mbah Nyahi apabila menjumpai jalan licin atau ada kubangan-kubangan di tengah jalan. “Kalau kami jalan berdua, Mbah Yahi itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari bersama-sama”, tutur Mbah Nyahi saat menceritakan kemesraan Mbah Yahi.
Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yahi Madjid QS wa RA, sebagaimana yang dikatakan Mbah Nyahi RAH, Beliau adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Beliau mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah Nyahi atau baju putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi. Beliau selalu membantu Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah Nyahi akan memasak sayur santan, Mbah Yahi yang memarut kelapanya dan Mbah Nyahi ayng membuat bumbunya. Mbah Yahi juga membantu mengasuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Memandikan, ndandani (berhias) bahkan menyuapi.
Kalau persediaan padi hasil panen habis, Mbah Yahi memanen sayuran kangkung yang Beliau tanam sendiri, lalu dijual ke pasar oleh Mbah Nyahi untuk dibelikan beras. Tak jarang Beliau sekeluarga hanya makan sayur kangkung saja. Dalam kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dulu, tidak mempunyai apa-apa sama sekali sudah biasa. Dan kondisi semacam itu diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas oleh Mbah Nyahi. Melihat kondisi Mbah Yahi sekelurga yang sangat sederhana dan apa adanya tersebut, Pak Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah Yahi, “Romo Kyai Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang Beliau inginkan, Kyai Ma’roef tinggal berdo’a memohon kepda Allah langsung diijabahi”.
Tapi apa tanggapan Mbah Yahi? “Pak Haji Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan saya ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam hati saja langsung diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”. Pernyataan Mbah Yahi QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan kehidupan keseharian Rasulullah SAW sebagai makhluk terkasih di sisi Allah SWT yang hidupnya sangat sederhana, sehignga Malaikat Jibril menawarkan Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas.
“Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar, aku bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku kenyang, aku bisa memuji Tuhanku menjdi hamba Allah yang bersyukur”, itulah jawaban seorang manusia termulia di muka bumi ini. Mbah Yahi QS wa RA saat awal menyusun Shalawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau prihatin karena urusan-urusan penting yang sedang di hadapinya. Keprihatinan Beliau bukanlah berkaitan dengan masalah khusus mengenai dirinya, melainkan yang berhubungan dengan orang lain, berhubungan dengan masyarakat jami’al ‘alamin. Hal lain mengenai Beliau adalah setiap orang yang memandangnya akan merasakan kesejukan yang merasuk ke dalam hati. Dan siapa pun yang Beliau pandang hatinya pasti bergetar.
Wahidiyah
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU. Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah Rasulullah SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi menyelenggarakan resepsi ulang tahun Shalawat Wahidiyah pertama sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan harinya Ning Tutik Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama dari berbagai daerah Jawa Timur, di samping keluarga dan kaum muslimin lainnya. Hadir sebagai tamu kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rois ‘Am NU dan Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah Beras, Jombang; KH. Machrus Ali, Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri; KH. Abdul Karim Hasyim (Putra Pendiri NU) Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang; dan KH. Hmim Djazuli (Gus Mik) Putra pendiri Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk menyiarkan Shalawat Wahidiyah kepda segenap hadirin.
“Nuwun sewu, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi?” (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin bersedia saya beri ijazah?), tutur Mbah Yahi dalam sambutannya. Spontan yang hadir menjawab “kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah berdiri, seakan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin.. ilmunya Gus Madjid dalam sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan saya amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah. Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat Wahidiyah itu susunan saya sendiri”. Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar, Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah satu tahun?”
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau membaca sholawat Allahumma kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalil sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA. Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh?” “Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi. Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.
Suatu ketika Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri, di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam khutbah iftitah-nya Beliau Mualif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: “Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”
Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum, Mbah Yahi mengirimkan Shalawat Wahidiyah yang ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm) santri Kedunglo kepada para ulma Kediri dan sekitarnya disertai surat pengantar yang Beliau tandatangani sendiri. Sejauh itu tak satupun di antara kyai yang dikirimi shalawat, mempermasalahkan Shalawat Wahidiyah.
“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh Mbah Yahi justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan adanya Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah dan sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Mereka ikut andil dalam Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW. (Begitu mulia akhlaq Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al Faathihah….)
Ghoutsu Zamanihi
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi QS wa RA diangkat menjadi “Ghouts” oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1992. Mbah Yahi QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman.
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm) salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ary RA) bermaksud riyadhah mencari “Ghoutsu Zaman”. Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah “Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman”. Akhirnya rencana riyadhoh selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir kembali ke Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di hadapan Mbah Yahi.
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan masuk”.
Bersamaan itu, masih menurut Kyai Baidlowi, keponakan Mbah mundir, Agus Muhaimin Abdul Qodir dalam kondisi terjaga dihadiri Nabiyullah Khidir AS, yang intinya menyampaikan bahwa Beliau Mualif Shalawat Wahidiyah adalah Qathbul Aqthob. Kyai Agus Muhaimin kurang percaya, seraya bertanya: “Masih banyak ulama yang ‘allamah, kenapa kok Pak Kyai Abdul Madjid yang menduduki jabatan Shulthonul Auliyaa?” Nabi Khidzir menjawab, “Tidak ada pilihan lain ‘indallah selain dia”. Setelah jawaban itu, nabi Khidzir pun menghilang.
KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) yang kondang kewaliannya, mengakui kalau Muallif Shalawat Wahidiyah adalah “Shulthonul Auliyaa” seperti yang disampaikannya saat beliau memberi kata sambutan dalam acara khitanan dan ulang tahun pertama Shalawat Wahidiyah. Di antara sambutannya, “Para hadirin, siapakah sebenarnya Agus Abdul Madjid itu?” Karena tak satu pun dari yang hadir menjawab, maka beliau meneruskan sambutannya, “Beliau adalah Roisul ‘Arifin. Hadirin, seumpama Panjenenganipun Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani masih hidup, saya yakin akan juga ikut mengamalkan shalawat Agus Abdul Madjid ini”.
Di sisi lain, setelah KH. Djazuli Utsman, ayahanda Gus Mik juga dengan sungguh-sungguh mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Konon katanya, setiap melaksanakan shalat fardhu dan mengamalkan Shalawat Wahidiyah, Mbah Yahi Madjid QS wa RA nampak di hadapannya. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga tujuh hari. Sementara itu Ibu Nyai Djazuli mengungkapkan, ketika membaca Shalawat Wahidiyah mendengar suara ghaib yang menyatakan dengan jelas bahwa Kyai Abdul Madjid adalah Ghautsu Hadzaz Zaman, berulang-ulang sampai tiga kali. Kemudian pengalaman bathin tersebut disampaikan kepada Kyai Djazuli Ustman, beliau juga menceritakan pengalaman yang sama. Akhirnya beliau berdua memutuskan sowan ke Kedunglo.
Keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi Kyai Djazuli Ustman beserta Ibu Nyai bersiap hendak pergi ke Kedunglo dengan membawa sekarung beras dan rencananya akan mengendarai dokar. Tetapi belum sampai berangkat, Mbah Yahi beserta Mbah Mundir dan Bapak Abdul Jalil Jaserman telah tiba lebih dulu di Ponpes Ploso (tempat tinggal Kyai Djazuli Ustman).
Selasa Kelabu di Bulan Rajab
“Romo Yahi kurang sehat….” “Romo Yahi lagi gerah…” Kabar itu segera menyebar ke seluruh perserta Mujahadah Kubro di bulan Rajab tahun 1989. Kontan saja resepsi Mujahadah Kubro memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW serasa lain dari biasanya. Suasana syahdu tersa sangat melingkupi hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam pertama, kedua dan ketiga Mbah Yahi tidak mios (tidak hadir secara langsung ke arena mujahadah) untuk menyampaikan fatwa dan amanat.
Pada malam terakhir, sebenarnya Mbah Yahi QS wa RA sudah melimpahkan pengisian fatwa dan amanah kepda putra lekaki pertamnya (Romo KH. Abdul Latief Madjid RA). Tetapi para pecintanya sangat merindukan Mbah Yahi hadir di tengah-tengah peserta untuk mendengarkan fatwa terakhir Beliau. Kemudian wakil dari peserta menyampaikan kepada Mbah Nyahi akan kerinduan dan kecintaan para pengamal kepada Mbah Yahi. Akhirnya Mbah Nyahi sowan kepada Mbah Yahi agar Mbah Yahi berkenan menyampaikan fatwa dan amanat terakhirnya.
Puji syukur Al-Hamdulillah, karena kasih dan sayang Mbah Yahi kepada pengamal, Beliau berkenan menyampaikan fatwa dan amanat terakhir di malam terakhir pelaksanaan mujahadah kubro, meski dari dalam kamar di ndalem (rumah Beliau) tengah. Pada kesempatan tersebut Beliau memberikan “ijazah” Shalawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk diamalkan dan disiarkan dengan kalimat, “Ajaztukum bihadzihish shalawatil wahidiyah fil amali wan nasyri”. Setelah itu, kondisi kesehatan Beliau semakin berkurang, walau demikian Beliau masih juga berkenan mengisi pengajian Ahad pagi dari ndalem.

Begitulah Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat terakhir hayatnya, Beliau masih membimbing dan men-tarbiyah pe-nderek-nya. Mengenai siapa di antara putra-putra Beliau yang kerap disebut, sebagaimana yang diceritakan oleh Kyai Rahmat Sukir dari penuturan Mbah Nyahi. Pada detik terakhir menjelang wafatnya, yang dipanggil-panggil Mbah Yahi adalah Agus Latief (Romo Yahi Abdul Latief RA). Saat itulah, Romo Yahi Abdul Latief RA memohonkan maaf segenap keluarga dan seluruh pengamal Shalawat Wahidiyah kepada Mbah Yahi QS wa RA. “Ya..” jawab Mbah Yahi QS wa RA. Tak lama berselang, saat itu Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 29 Rajab 1409 H, jam 10.30 WIB, Sang Warasatul Anbiyaa, Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid RA telah ridla dan diridlai menghadap Allah SWT.
Tak ada tangis yang meledak, hanya awan kedukaan begitu kelabu menyelimuti Selasa itu, dan perlahan-lahan air mata pun menetes di bumi Kedunglo Al-Munadharah seiring datangnya para tamu dari berbagai penjuru, yang ingin bertakziyah dan memyampaikan penghormatan terakhir kepada sesorang yang ‘Alim, namun tidak pernah menampakkan ke-‘aliman-nya. Semakin senja para peziarah semakin membanjir. Shalat janazah pun dilaksankan secara bergilir, karena masjid sudah tidak menampung jumlah jamaah. Begitu juga pemakaman terpaksa ditunda, mengingat jumlah peziarah yang terus mengalir dan menunggu keputusan musyawarah keluarga ndalem Mbah Yahi.
Begitulah sekilas “manaqib” Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA Muallif Shalawat Wahidiyah, Mujaddid, Reformis Akhlak, Pahlawan Pembebas Nafsu yang gelar kepahlawanannya bukan direkomendasi oleh pejabat pemerintah melainkan direkomendasi langsung oleh Allah SWT. Semoga kita semua bisa meneladaninya. Amiin.
ILMU-ILMU LADUNI
Hadratul Mukarram Al Ghauts, Shulthonul Auliyaa, Al ‘Arif Billah KH. Abdul Madjid QS wa RA kebanyakan menerima amalan doa doa secara laduni artinya menerima “alamat ghoib”- istilah Beliau – dalam keadaan terjaga dan sadar, bukan dalam mimpi. Maksud dan isi alamat ghoib tersebut kurang lebih: “ikutlah berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalan bathiniyah”.
Sesudah menerima alamat ghoib tersebut Beliau sangat prihatin. Kemudian mencurahkan / memusatkan kekuatan bathiniyah, bermujahadah (istilah Wahidiyah), bermunajat / mendekatkan diri kepada Alloh memohon bagi kesejahteraan ummat masyarakat, terutama perbaikan mental / akhlaq dan kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi.
Do’a-do’a / amalan yang Beliau perbanyak adalah do’a sholawat, seperti Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Masisiyah dan masih banyak lagi.
Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh doa yang beliau amalkan untuk memenuhi maksud alamat ghoib tersebut adalah do’a Sholawat. Seakanakan boleh dikatakan bahwa seluruh waktu beliau tidak ada yang tidak dipergunakan untuk membaca sholawat. Suatu contoh ketika bepergian dengan naik sepeda, beliau memegang stir sepeda dengan tangan kiri, sedang tangan kanan Beliau dimasukkan ke dalam saku baju untuk memutar tasbih. Untuk amalan Sholawat Nariyah misalnya Beliau sudah terbiasa mengkhatamkannya dengan bilangan 4444 kali dalam tempo kurang lebih 1 (satu) jam.
Allohumma sholli ’sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taaamman ‘ala sayyidina Muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqodu wa tanfariju bihil qurobu wa tuqdho bihil hawaaiju wa tunalu bihir roghooibu wa husnul khowaatimu wa yustasqol ghomamu biwajhihil kariem wa ‘ala aalihi wa shohbihi fie kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’lummin lak”

Artinya :Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.
Banyaknya bilangan bacaan yang ditempuh dalam waktu sesingkat itu bagi Beliau tidaklah mustahil. Itulah kelebihan yang diberikan oleh Alloh kepada sebagian Waliyulloh. Karomah tersebut lazimnya disebut “thoyyul-waqti” (melipat/menyingkat waktu) sebagaimana karomah yang serupa yang disebut “thoyyul-ardli” (melipat/ memperpendek jarak bumi). Yakni suatu jarak / jangka waktu yang umumnya harus ditempuh dalam waktu yang lama (beberapa jam/hari/ minggu), bagi sebagian waliyulloh yang diberi karomah di bidang itu bisa ditempuh hanya beberapa saat saja.
Beliau menerima alamat ghoib lagi, alamat yang ke dua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghoib yang pertama. Maka Beliaupun mening-katkan mujahadah kepada Alloh, sehingga kondisi fisik / jasmani Beliau sering terganggu, namun tidak mempenga-ruhi kondisi bathiniyah Beliau.
Tidak lama dari alamat ghoib yang ke dua itu, beliau menerima lagi alamat ghoib dari Alloh, untuk yang ke tiga kalinya. Alamat yang ke tiga ini lebih keras lagi dari pada yang kedua “Malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal ngelaksanaaken” (malah saya diancam kalau tidak cepat-cepat melaksanakan). Demikian kurang lebih penjelasan beliau “Saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdanipun meniko” (karena kerasnya peri-ngatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu), tambah Beliau. Sesudah itu semakin bertambahlah prihatin, mujahadah, taqorrub dan permohonan Beliau ke Hadlirot Alloh.
Dalam situasi bathiniyah yang senantiasa ber-tawajjuh ke Hadlirat Alloh wa Rosulihi itu, beliau menyusun suatu do’a sholawat. ”Kulo lajeng ndamel oret-oretan” (saya lalu membuat coretan), istilah Beliau. “Sak derenge kulo inggih mboten angen-angen badhe nyusun sholawat” (sebelumnya saya tidak berangan-angan menyusun Sholawat). Beliau menjelaskan : “Malah anggen kulo ndamel namung kalian nggloso” (bahkan dalam menyusun saya hanya dengan tiduran).
Yang dimaksud do’a sholawat yang baru lahir dari kandungan bathiniyah yang bergetar dalam frekuensi tinggi kepada Alloh wa Rosuulihi, bathiniyah yang diliputi rasa tanggung jawab dan prihatin terhadap ummat masyarakat, adalah Sholawat sebagai berikut :
اَللّهُمَّ كَمَآ أَنـْتَ أَهْـلُهْ , صَـلّ وَسَـلّمْ وَبـَارِك ْعَـلَىسَـيّــدِنـَا وَمَــوْلانَـا وَشَفِـيْعِنَا وَحَبِـيْبـِنَا وَقُـرَّة ِأَعْـيُـنِـنَا مُحَـمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كمَا هُوَ أَهْـلُهْ , نَسْـأَلُكَ اللّـهُمَّ بـِحَقِّهِ أَنْ تُغْرِقَـنَا فِى لُجَّةِ بَحْر الْوَحْدَةْ , حَتَّى لا نَرَى وَلانَسْمَعَ ولا نَجِدَ وَلاَ نُحِسَّ وَلا نَـتَحَرَّك وَلا نَسْكُنَ إِلاّ َّبِهَا , وَتَرْزُقَــنَا تَمَـامَ مَغْـرف تِكْ , وَتَمَامَ  نِعْمَتـِك ْ, وَتَمَامَ مَعْرِِفَـتِكْ , وَتَمَامَ مَحَبَّـتِـكْ , وَتَـمَامَ رضْـوَانِكْ , وَصَـلّ وَسَلِّمْ وَبَاركْ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَصَحْبِهْ , عَدَدَ مَآ أَحَاط بهِ عِلْمُك وَأَحْصَـاهُ كِتَابُكْ , بِرَحْمَـتِكَ يـَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن , وَالْحَـمْـدُ  ِللهِ رَبّ ِالْـعَالَمِــْين
ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA, WASYAFII’INAA, WAHABIIBINAA, WAQURROTI A’YUNINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO WALAA NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA NASKUNA ILLAA BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI’MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH; WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN.
“Niki kulo namekaken Sholawat Ma’rifat” (Ini saya namakan Sholawat Ma’rifat), penjelasan Beliau.
Dalam sholawat tersebut belum ada kalimat يَآ أَلله setelah kalimat تــَمَامَ  مَـغْـــرف تـِك dan seterusnya seperti yang ada sekarang ini .
Kemudian Beliau menyuruh tiga orang supaya mengamalkan sholawat yang baru lahir tersebut. Tiga orang yang Beliau sebut sebagai pengamal percobaan itu ialah Bapak Abdul Jalil (almarhum) seorang tokoh tua (sesepuh) dari desa Jamsaren, Kota Kediri, Bapak Mukhtar (seorang pedagang dari desa Bandar Kidul, Kota Kediri), dan seorang santri pondok Kedunglo yang bernama Dakhlan, dari Demak, Jawa Tengah. Alhamdu lillah, setelah mengamalkan sholawat tersebut mereka menyampaikan kepada Beliau bahwa mereka dikaruniai rasa tenteram dalam hati, tidak ngongso-ngongso dan lebih banyak ingat kepada Alloh. Setelah itu Beliau menyu-ruh lagi beberapa santri pondok supaya mengamalkannya. Alhamdulillah, hasilnya juga sama seperti yang diperoleh oleh tiga orang tersebut di atas.
Beberapa waktu kemudian bertepatan dengan bulan Muharram Beliau menyusun Sholawat lagi yaitu :
للَّهُمَّ يَاوَاحِـدُ يَآ أَحَدْ , يَـاوَاجِـدُ يَاجَوَادْ , صَلّ وَسَلِّـمْ وَبَاركْ عَلَى سَـيّـِِدِنـَا مُحَـمَّدٍ وَّعَـلَى آلِِ سَيـِّدِنـَا مُحَمَّدْ , فِىكُلِّ لـَمْحَة ٍ وَّنَـفَسٍٍ بِعَـدَدِ مَـعْلُوْمَاتِ اللهِ وَفُـيُـوْضَاتِهِ وَأَمْدَادِهْ
Sholawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam susunan Sholawat Wahidiyah. Karena lahirnya Sholawat ini pada bulan Muharram, maka Beliau menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran Sholawat Wahidiyah yang diperingati ulang tahunnya dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro Wahidiyah pada setiap bulan tersebut.
Untuk mencoba khasiat sholawat yang kedua ini, Beliau menyuruh beberapa orang supaya mengamalkannya, Alhamdulillah, hasilnya lebih positif lagi. Yaitu mereka dikarunia oleh Alloh, ketenangan bathin dan kesadaran hati kepada Alloh yang lebih mantap.
Semenjak itu Beliau memberi ijazah Sholawat اَللـــَّــهُمَّ يَاوَاحـــِــدُ dan للّـهُــمَّ كــَمَآ أَنــْتَ أَهْـلــُهْ tersebut secara umum, termasuk para tamu yang sowan (berziarah) kepada Beliau. Disamping itu, Beliau menyuruh seorang santri untuk menulis sholawat-sholawat tersebut dan mengirimkannya kepada para ulama / kyai yang diketahui alamatnya dengan disertai surat pengantar yang beliau tulis sendiri. Isi surat pengantar itu antara lain; agar sholawat yang dikirim itu bisa diamalkan oleh masyarakat setempat. Sejauh itu tidak ada jawaban negatif dari para ulama / kyai yang dikirimi.
Dari hari ke hari semakin banyak yang datang memohon ijazah amalan Sholawat Wahidiyah. Oleh karena itu Beliau memberikan ijazah secara mutlak. Artinya disamping diamalkan sendiri supaya disiarkan / disampaikan kepada orang lain tanpa pandang bulu.
Sejak sebelum lahirnya Sholawat tersebut, di masjid Kedunglo setiap malam Jum’at (secara rutin) diadakan pengajian kitab Al-Hikam yang dibimbing langsung oleh Hadhrotul Mukarrom Muallif sendiri. Pengajian tersebut diikuti oleh para santri, masyarakat sekitarnya dan beberapa kyai dari sekitar kota Kediri. Pada suatu pengajian rutin tersebut, Sholawat “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH …..” ditulis di papan tulis dan Beliau menerangkan / menjelaskan hal-hal yang terkandung di dalamnya, kemudian memberi ijazah secara mutlak pula untuk diamalkan dan disiarkan disamping Sholawat “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…”.
Dengan semakin banyaknya orang yang memohon ijazah dua sholawat tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan, Bapak KH Mukhtar, Tulung agung, seorang pengamal Sholawat Wahidiyah yang juga ahli khoth (kaligrafi / tulis Arab) membuat lembaran Sholawat Wahidiyah yang terdiri dari “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH …..” dan “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU .…”. Pembuatannya menggunakan stensil yang sederhana dan dengan biaya sendiri serta dibantu oleh beberapa orang pengamal dari Tulungagung .
Pengajian kitab Al-Hikam yang dilaksanakan setiap malam Jum’at itu, atas usulan dari para peserta yang menjadi Pegawai / Karyawan, dirobah menjadi hari Minggu pagi sampai sekarang. Sebelum pengajian kitab Al-Hikam didahului dengan Sholat Tasbih berjama’ah dan Mujahadah Sholawat Wahidiyah. Pada suatu Pengajian kitab Al-Hikam  Beliau menjelaskan tentang “HAQIQOTUL WUJUD” sampai pengertian dan penerapan “BIHAQIQOTIL MUHAMMA-DIYYAH” yang dikemudian hari disempurnakan dengan penerapan “LIRROSUL-BIRROSUL”. Pada saat itu tersusunlah Sholawat yang ke tiga yaitu :
عَلَـِيْكَ نـُوْرَ الْخَلْقِ هَـادِيَ اْلأَنَامْ
فَـقَــدْ ظَـلَـمْـتُ أَبـَدًا وَّرَ بّـنـِـىْ
فـَإ ِنْ تـَرُدَّ كُـنْـتُ شَـخـْصًا هَالِكَا
*
*
*
يَاشَـافِـعَ الْخَلْقِ الصَّلاَة ُ وَالسَّلاَمْ
وََأَصْــلَـهُ وَرُوْحَــه ُ أَدْرِكـْـــنــِى
وَلَيـْــسَ  لِى يَا سَـيِّـدِىْ سِـوَاكـَا
Sholawat yang ke tiga ini disebut “SHOLAWAT TSALJUL QULUB” (Sholawat salju hati / pendingin hati). Nama lengkapnya “SHOLAWAT TSALJUL GHUYUUB LITABRIIDI HAROROTIL-QULUUB” (Sholawat Salju dari alam ghoib untuk mendinginkan hati yang panas).
Ketiga rangkaian Sholawat tersebut diawali dengan surat Al-Fatihah, diberi nama“SHOLAWAT WAHIDIYAH”. Kata “WAHIDIYAH” diambil sebagai tabarukan (mengambil berkah) salah satu dari “ASMAUL HUSNA” yang terdapat dalam Sholawat yang pertama, yaitu “WAAHIDU”, artinya “MAHA SATU”. Satu tidak bisa dipisah-pisahkan lagi. Mutlak SATU AZALAN WA ABADAN. “SATU” bagi Alloh tidak seperti “satu”-nya” makhluq.
Para ahli mengatakan, bahwa diantara khowas (hasiat) AL-WAAHIDU, adalah menghilangkan rasa bingung, sumpek, resah / gelisah dan takut. Barang siapa membacanya 1000 kali dengan sepenuh hati dan khudlu’, maka dia dikaruniai Alloh tidak mempunyai rasa takut / khawatir kepada makhluq, di mana takut kepada makhluq itu adalah sumber dari segala balak / bencana di dunia dan akhirat. Dia hanya takut kepada Alloh saja ! Barang siapa memperbanyak dzikir “AL-WAAHIDU AL-AHAD” atau “YAA WAAHIDU YAA AHADU” maka Alloh membuka hatinya untuk sadar bertauhid / memahaesakan Alloh sadar Billah.
Diadakan pertemuan / silaturrahmi yang diikuti oleh para ulama / kyai dan tokoh masyarakat yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang dan Mojokerto bertempat di Langgar (Musholla) Bapak KH. Abdul Jalil (Almar-hum) Jamsaren – Kediri. Musyawarah tersebut dipimpin oleh Hadlrotul Mukarrom Muallif Sholawat Wahidiyah sendiri. Diantara hasilnya adalah susunan redaksi / kalimat yang ditulis di dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk garansi / jaminan. Mengenai redaksi jaminan / garansi itu atas usulan dari Beliau dan disetujui oleh seluruh peserta musyawarah. Redaksinya adalah : “MENAWI SAMPUN JANGKEP 40 DINTEN BOTEN WONTEN PEROBAHAN MANAH, KINGING DIPUN TUNTUT DUN-YAN WA UKHRON” -“Kedunglo Kediri”
Menjelang peringatan ulang tahun lahir-nya Sholawat Wahidiyah yang pertama (EKA WARSA) dalam bulan Muharram, Lembaran Sholawat Wahidiyah mulai dicetak dengan klise yang pertama kalinya di kertas HVS putih sebanyak + 2500 lembar. Yang mengusahakan klise dan percetakan itu Bapak KH Mahfudz dari Ampel-Surabaya, atas biaya dari Ibu Hj. Nur AGN (almarhumah), Surabaya. Susunan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah yang dicetak adalah : Hadiah fatihah, “ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU…………..”, ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH ………..……”, “YAA SYAAFI’AL KHOLQIS-SHOLAATU WASSALAAM ………” tanpa “YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH” dengan dilengkapi keterangan tentang cara pengamalannya dan termasuk garansi tersebut di atas.
Setelah lembaran Sholawat Wahidiyah dengan susunan di atas beredar secara luas, disamping banyak yang menerima, juga ada yang menolak / mengontrasinya. Kebanyakan alasan para pengontras adalah adanya garansi : Menawi sampun jangkep sekawan doso dinten boten wonten perobahan manah, kenging dipun tuntut dun-ya wa ukhro -“Kedunglo Kediri”. Mereka memberikan penafsiran tentang garansi dengan pemahaman yang jauh bertentangan dengan makna sebenarnya. Pemahaman mereka terhadap “garansi” menjadi : “Barang siapa mengamalkan Sholawat Wahidiyah dijamin masuk surga”.
Sebenarnya kalimat garansi / pertanggungjawaban tersebut merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar kita meningkatkan rasa tanggung jawab dengan segala konsekwensi kita terhadap segala sesuatu yang kita lakukan; Bahasa populernya “berani berbuat, berani bertanggung jawab”.
Setelah pelaksanaan peringatan ulang tahun Sholawat Wahidiyah yang pertama, di Kedonglo diadakan Asrama Wahidiyah I yang diikuti para kyai dan tokoh agama dari daerah Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Malang, Madiun dan Ngawi. Asrama ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam. Kuliah-kuliah Wahidiyah diberikan langsung oleh Beliau sendiri. Di dalam Asrama ini lahirlah kalimat nidak “YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOOH”. Untuk melengkapi amalan Sholawat Wahidiyah yang telah ada, kalimat nidak tersebut dimasukkan dalam lembaran Sholawat Wahidiyah. Lembaran Sholawat Wahidiyah yang berisikan tiga rangkaian itu beredar dengan tidak ada perubahan.
Di dalam Kuliah Wahidiyah yang Beliau sampaikan, antara lain Beliau mnerangkan tentang GHOUTSUZ ZAMAN dengan panjang lebar. Pada saat itu lahir dari kandungan Beliau :
يَآ أَيّـُـهَـا الْـغَوْثُ سَــــلا َمُ الله ْ
*
عَـلَــيْـكَ رَبـّـــِنيْ بِـإذْنِ الله
وَانـْظـُرْ إِلـَىَّ سَـيّــدِىْ بِنَـظــْرَة ْ
*
مُـوْصِلَـةٍ لـّّلْحَـضْـرَةِ الْـعَـلِـيَّةْ
Amalan tersebut merupakan suatu jembatan emas yang menghu-bungkan tepi jurang pertahanan nafsu di satu sisi dan tepi kebahagiaan yang berupa kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi, Shollalloohu ‘alaihi wasallam di sisi lain. Para Pengamal Sholawat Wahidiyah menyebutnya “ISTIGHOTSAH”. Ini tidak langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Sholawat Wahidiyah dalam lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat. Tetapi para Pengamal Wahidiyah yang sudah agak lama dianjurkan untuk mengamalkannya terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.
Beliau memberi ijazah lagi berupa kalimat nida’ ففروا الى الله dan وقــــل جــــاء الحـــــق   Kalimat nidak ini pada saat itu juga belum dimasukkan dalam rangkaian pengamalan Sholawat Wahidiyah, tetapi dibaca oleh imam dan makmum pada akhir setiap do’a. Begitu juga “WAQUL JAA-AL HAQQU…” belum dirangkaikan dengan “FAFIRRUU ILALLOOH” seperti sekarang. Tentulah ini suatu kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang kita tidak mampu menguraikan, tegasnya kita tidak mengetahuinya.
Pada tahun 1968 lahir Sholawat :
عَـلَى مُحَـمَّـدٍ شَـفِــيْـعِ اْلأُمَــمِ
*
يـَارَ بّـَنـَا اللـّــهُـمَّ  صَـلّ سَلّــِمِِ
بـِالْـوَاحـِدِيـَّة ِلِـرَبّ الْـعَالَمِـيْن
*
وَاْلآلِِ وَاجْـعَـلِ اْلأَنـَـامَ مُسْـرِعِـيْن
قَـرّبْ وَأَلّـِفْ بـَيْـنَـنَـا يـَارَبَّـــنَا
*
يـَارَبَّنَا اغــْفِرْ يَسّـِرافْتـَحْ وَاهْدِنـَا
Kemudian “YAA AYYUHAL GHOUTSU….” dan Sholawat ini dima-sukkan ke dalam lembaran Sholawat Wahidiyah yang diedarkan kepada masyarakat.
Pada tahun 1971, menjelang Pemilu di negara kita, lahirlah Sholawat :
يَاشَافِـعَ الـْخَــلْقِِ حَبـِيـْبَ الله
*
صَـلاَتُـهُ عَـلَـيْكَ مَـعْ سَـلا َمِـهِ
ضَلَّتْ وَضَـلَّّّتْ حِيْلَـتِـىفِىبَلْدَتِى
*
خُـذْ بِيَـدِىْ يَا سَـيّـِدِىْ وَاْلأُ مَّـةِ

يَا سَـيّـِدِيْ   يَا رَسُـــوْلَ  الله






Kemudian Sholawat ini dimasukkan ke dalam lembaran Sholawat Wahidiyah diletakkan sesudah “YAA AYYUHAL GHOUTSU…” sebelum “YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI….”
Pada tahun 1972 Beliau menambah do’a : “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WA HAADZIHIL BALDAH” (belum ada kalimat “YAA ALLOOH”).
Pada tahun 1973 bacaan nida’ “FAFIRRUU ILALLOOH” dirangkaikan dengan “WAQUL JAA-AL HAQQU…” dan didahului dengan do’a :
بِسْـمِ اللهِ الـَّرحْمــنِ الرَّحِـيْـم .اللّـهُـمَّ بـِحَـقّ اسْمِـكَ اْلأَعْـظـَــمْ , وَبـِجَـاهِ سَــيّـِـدِنـَا مُحَـمَّـدٍ صَلـَّى الله ُعَـلَـيْه ِوَسَـلـَّـمْ , وَبِـبَرَكَـةِ غـَــوْثِ هَـذَا الزَّمَـــانْ وَأَعْوَانِـهِ وَسَـآئـِرِ أَوْلِيَـآئِكَ يـَآ أَلله , يـَآ أَللهْ , يـَآ آللهْ , رَضِىَ اللهُ تَعَالَىعَـنْـهُمْ × 3
بَـلّـِغْ جَـمِيْعَ الـْعَالَمِــيْنَ نـِدَآءَنـَا هَـذَا وَاجْــعَـلْ فِـيْـهِ تـَأْثِـــيْرًا بـَلِـيْغًـا ×3
فـَإِنـَّك َعَـلَى كُلّ شَـيْـئٍٍِ قَدِيـْـر, وَبِـاْلإِجَـابـَةِ جَدِيْـر ×3
فَـفِرُّوآ إِلَى الله ْ× 7
وَقُـلْ جَآءَ الْحَـقُّ وَزَهَـقَ الْـبَاطِلُط إِنَّ الْـبَاطِلَ كـَانَ زَهُـوْقًا × 3
Pada saat itu pula mulai dilaksanakan nida’ “FAFIRRUU ILALLOOH” dengan berdiri menghadap empat penjuru yaitu pada saat acara Mujahadah dalam rangka peletakan batu pertama Masjid Desa Tanjungsari Tulungagung yaitu Masjid KH. Zaenal Fanani.
Demikian penambahan dan penyempurnaan Sholawat Wahidiyah secara berangsur seirama dengan pengembangan dan penyempurnaan Ajaran Wahidiyah yang diberikan oleh Hadhrotul Mukarrom Yai Muallif. Sholawat Wahidiyah sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi di dalam ummat masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri.
Selanjutnya Beliau menambah do’a “ALLOOHUMMA BAARIK FII HAADZIHIL-MUJAAHADAH YAA ALLOOH” yang diletakkan sesudah “ALLOO-HUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH”.
Seterusnya ada tambahan dalam Sholawat Ma’rifat, yaitu sesudah bacaan “WATARZUQONAATAMAAMA MAGHFIROTIKA” ditambah “YAA ALLOOH”. Demikian juga setelah “WATAMAAMA NI’MATIKA” dan seterus-nya sampai “WATAMAAMA RIDLWAANIKA” Jadi sebagaimana dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah sampai sekarang.
Ditambahkan doa “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAA-DZIHIL BALDAH” ditambah “YAA ALLOOH”, dan doa “ALLOOHUMMA BAARIK FII HAADZI-HIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH” dirobah menjadi “WAFII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH”. Sehingga rangkaiannya menjadi “ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOOH, WAFII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOOH”.
Lembaran Sholawat Wahidiyah yang ditulis dengan huruf Al-Qur’an (huruf Arab) diperbaharui dengan susunan yang sudah lengkap dengan disertai petunjuk cara pengamalannya, Ajaran Wahidiyah dan keterangan tentang ijazah dari Beliau secara mutlak. Susunan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah seperti itu tidak ada perobahan hingga sekarang kecuali beberapa kalimat dalam penjelasan keterangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan bahasa.
Demikian secara kronologis atau urut, sejarah ringkas lahirnya Sholawat Wahidiyah dari awal sampai penyempurnaan di setiap periode. Setiap penyempurnaan sudah barang tentu memiliki sirri-sirri (rahasia) yang kita tidak mengetahui secara pasti. Hanya ada sebagian dari Pengamal Wahidiyah yang ditunjukkan sirri-sirrinya secara bathiniyah. Mari dalam kesempatan ini kita sowan di haribaan Beliau dengan adab lahir batin yang sebaik-baiknya.

REDAKSIONAL
SHOLAWAT WAHIDIAH LENGKAP BESERTA ARTINYA:

http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/01ilahad.gif
ILAA HADLROTI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASSALAM, ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x)
Di hadiyahkan ke haribaan Junjungan kami Kanjeng Nabi Besar Muhammad Shollallohu ‘alaihi Wasallam. Al-Fatihah
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/02ilahad.gif
WA ILAA HADLROTI GHOUTSI HAADAZ-ZAMAN WAA’AWAANIHI WASAAAIRI AULIYAAILLAAHI RODLIYALLOOHU TA’AALA ‘ANHUM ALFAATIHAH ! (membaca Surat Fatihah 7x)
Dan di hadiyahkan ke pangkuan Ghoutsi Hadhazzaman, Para Pembantu Beliau dan segenap Kekasih ALLOH, Rodiyallohu ta’alaa Anhum. Al-Fatihah
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/03wahid.gif
ALLOOHUMMA YAA WAAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD, SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA MUHAMMADIW-WA’ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD. FII KULLI LAMHATIW WA NAFASIM BI’ADADI MA’LUMAATILLAAHI, WA FUYU DHOTIHI WA AMDAADIH. (100X)
Yaa Alloh, Yaa Tuhan Maha Esa, Yaa Tuhan Maha Satu, Yaa Tuhan Maha Menemukan, Yaa Tuhan Maha Pelimpah, limpahkanlah sholawat salam barokah atas junjungan kami Kanjeng Nabi Muhammad dan atas keluarga Kanjeng Nabi Muhammad pada setiap kedipnya mata dan naik turunnya napas sebanyak bilangan segala yang Alloh Maha Mengetahui dan sebanyak kelimpahan pemberian dan kelestarian pemeliharaan Alloh.
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/04kama.gif
ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAASAYYIDINAA WAMAULAANAA,WASYAFII’INAA,WAHABIIBINAA,WAQURROTI A’YUNINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOOHU’ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLOOHUMMA BIHAQQIHI AN TUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH; HATTAA LAA NAROO WALAA NASMA’A, WALAA NAJIDA WALAA NUHISSA, WALAA NATAHARROKA WALAA NASKUNA ILLAA BIHAA; WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI’MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDLWANIKA YAA ALLOH; WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA’ALAA AALIHI WASHOHBIH. ‘ADADAMAA AHAATHOBIHII ‘ILMUKA WAAHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA ARHAMAR-ROOHIMIIN, WALHAMDU LILLAAHI ROBBIL’AALAMIIN. (7X)
Yaa Alloh, sebagaimana keahlian ada pada-MU, limpahkanlah sholawat salam barokah atas Junjungan kami, Pemimpin kami, Pemberi Syafa’at kami, Kecintaan kami, dan Buah jantung hati kami Kamjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi WaSallam yang sepadan dengan keahlian Beliau, kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, dengan hak kemuliaan Beliau, tenggelamkanlah kami didalam pusat dasar samudra ke-Esaan-MU sedemikian rupa sehingga tiada kami melihat dan mendengar, tiada kami menemukan dan merasa, dan tiada kami bergerak maupun berdiam, melainkan senantiasa merasa didalam samudra Tauhid-MU dan kami bermohon kepada-MU Yaa Alloh, limpahilah kami ampunan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ni’mat karunia-MU yang sempurna Yaa Alloh, sadar ma’rifat kepada-MU yang sempurna Yaa Alloh, cinta kepad-MU dan menjadi kecintaan-MU yang sempurna Yaa Alloh, ridho kepada-MU dan memperoleh ridho-MU pula yang sempurna Yaa Alloh. Dan sekali lagi Yaa Alloh, limpahkanlah sholawat salan dn barokah atas Beliau Kanjeng Nabi dan atas keluarga dan sahabat Beliau sebanyak bilangan segala yang diliputi oleh Ilmu-MU dan termuat di dalam Kitab-MU, dengan Rahmat-MU Yaa Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan segala puji bagi Alloh Tuhan seru sekalian alam.
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/05yasa.gif
YAA SYAFI’AL-KHOLQISH-SHOLAATU WASSALAAM ” ‘ALAIKA NUUROL KHOLQI HAADIYAL ANAAM
WA ASHLAHUU WA RUUHAHU ADRIKNII ” FAQODH DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA ” FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSON HAALIKAA (3x)

Duhai Kanjeng Nabi pemberi Syafa’at makhluq Kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan ¨ Duhai Nur cahaya makhluq , pembimbing manusia ¨ Duhai unsur dan jiwa makhluq,bimbing dan didiklah diriku ¨ Maka sungguh aku manusia yang dholim selalu ¨ tiada arti diriku tanpa engkau Duhai Yaa Sayyidii ¨ jika engkau hindari aku (akibat keterlaluan berlarut-larutku), pastilah ‘ku ‘kan hancur binasa.
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/06yasyaidi.gif
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH  (7x)
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/07yaghoust.gif
YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH ” ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH
WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH ” MUUSHILATIL-LIL-HADLROTIL’ALIYYAH. (3x)

Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh kuhaturkan ¨ Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh ¨ dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii ¨ radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/08yasafial.gif
YAA SYAAFI’AL-KHOLQI HABIIBALLOOHI ” SHOLAATUHUU’ALAIKA MA’SALAAMIHII,
DHOLLAT WA DHOLLAT HIILATII FII BALDATII ” KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATII  (3x)

Duhai Kanjeng Nabi penberi Syafa’at makhluq, duhai Kanjeng Nabi Kekasih Alloh ¨ Kepangkuan-MU sholawat dan salam Alloh aku sanjungkan ¨ jalanku buntu, usahaku tak menentu buat kesejahteraan negriku ¨ cepat, cepat, cepat raihlah tanganku Yaa Sayyidii tolonglah diriku dan seluruh ummat ini.
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/06yasyaidi.gif
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH  (7x)
Duhai Pemimpinku, Duhai Utusan Alloh
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/09yarab.gif
YAA ROBBANALLOOHUMMA SHOLLI SALLIMI ” ‘ALAA MUHAMMADIN SYAFII’IL UMAMI,
WAL-AALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI’IIN ” BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL-‘AALAMIIN
YAA ROBBANAGH-FIR YASSAIR IFTAH WAHDINAA ” QORRIB WA-ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA. (3x)

Yaa Tuhan kami Yaa Alloh, limpahkanlah Sholawat dan Salam ¨ atas Kanjeng Nabi Muhammad pemberi Syafa’at ummat ¨ dan atas keluarga Beliau, dan jadikanlah ummat manusia cepat-cepat lari, ¨ lari kembali mengabdikan diri dan sadar kepada Tuhan Semesta alam, ¨ Yaa Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, permudahkanlah segala urusan kami, bukalah hati dan jalan kami, dan tunjukilah kami ¨ , pereratlah persaudaraan dan persatuan diantara kami, Yaa Tuhan kami.
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/10barik.gif
ALLOOHUMMA BAARIK FIIMAA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH YAA ALLOH, WA FII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOH ! (7X)
Yaa Alloh limpahkanlah berkah didalam segala makhluq yang engkau ciptakan, dan didalam negri ini Yaa Alloh, dan didalam mujahadah ini Yaa Alloh
I S T I G H R O O Q
( Diam tidak membaca apa-apa, segenap perhatian lahir bathin, fikiran dan perasaan dipusatkan hanya kepada ALLOH! Tidak ada acara selain ALLOH )
AL FAATIHAH
(1 X) Kemudian berdo’a seperti di bawah ini
http://sholawat-wahidiyah.com/id/wlink/images/11doa.gif
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM,
ALLOOHUMMA BIHAQQISMIKAL A’DHOM WABIJAAHI SAYYIDINAA MUHAMMADIN SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WASALLAM WABIBARAKATI GHOUTSI HADZAZ-ZAMAAN WA A’WAANIHI WA SAAIRI AULIYAAIKA YAA ALLOH, YAA ALLOH, YAA ALLOH, RODLIYALLOOHU TA’AALA’ANHUM 3X
Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang( Yaa Alloh, dengan hak kebesaran Asma-MU, dan dengan kemuliaan serta keagungan Kanjeng Nabi Mahammad Sollallohu ‘Alaihi WaSallam, dan dengan Barokahnya Ghoutsu Hadhaz Zaman wa A’wanihi serta segenap Auliya’ Kekasih-MU Yaa Alloh, Yaa Alloh Rodiyallohu Ta’ala Anhum
BALLIGH JAMII’AL ‘ALAMIIN NIDAA-ANAA HAADZAA WAJ’AL FIIHI TAKTSIIROM-BALIIGHOO 3X
Sampaikanlah seruan kami ini kepada jami’al Alamin dan letakkanlah kesan yang sangat mendalam
FAINNAKA ‘ALAA KULLI SYAI-INGQODIIR WABIL IJABATI JADIIR 3X
Maka sesungguhnya engkau Maha Kuasa berbuat segala sesuatu dan Maha Ahli memberi ijabah
FAFIRRUU ILALLOOH (7X) = Larilah kembali kepada Alloh !
WAQUL JAA-ALHAQQUWAZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO  (3X)
Dan katakanlah (wahai Muhammad) perkara yang hak telah datang dan musnahlah perkara yang batal, sesungguhnya perkara yang batal itu pasti musnah.Al-Fatihah ( membaca surat Al-Fatihah satu kali )
FAFIRRUU ILALLOH dan WAQUL JAA-ALHAQQU
dibaca bersama-sama imam dan ma’mum. Maknanya : Larilah kembali kepada Alloh ! Dan semoga akhlaq=akhlaq batal yang rusak dan merusakkan segera diganti oleh Alloh dengan akhlaq yang baik dan yang menguntungkan! Kedua ajakan tersebut ditujukan kepada segenap masyarakat manusia dan jin seluruh dunia, terutama ditujukan kepada pribadi si pembaca sendiri.
A L  F A A T I H A H (1X)
S e l e s a i
@Majalah Aham Edisi 31/Th.IV Rajab 1421 /Oktober 2000, Penerbit Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo – Kota Kediri dan link/sumber terkait KH Abdul Majid Makruf.

ILMU-ILMU LADUNI KH ABDUL MAJID MA’RUF, PENGASUH PONPES KEDUNGLO KEDIRI 4.5 5 Unknown Minggu, 09 Februari 2014 by wongalus “IKUTlLAH BERJUANG MEMPERBAIKI MENTAL MASYARAKAT LEWAT JALAN BATHINIYAH”. Kali ini kita akan me...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Blogger templates

J-Theme